Jumat 01 Dec 2017 20:43 WIB

Menghayati Kandungan Al Baqarah di Menteng Muslim Center

Menteng Muslim Center yang dimoderatori ketua umum PB HMI periode 2013-2015 Arief Rosyid Hasan menghadirkan Ketua Umum BPL PB HMI Ustaz Arif Maulana dan Yusuf Daud dari Philosufi Centre Surabaya, Ahad (19/11).
Menteng Muslim Center yang dimoderatori ketua umum PB HMI periode 2013-2015 Arief Rosyid Hasan menghadirkan Ketua Umum BPL PB HMI Ustaz Arif Maulana dan Yusuf Daud dari Philosufi Centre Surabaya, Ahad (19/11).

REPUBLIKA.CO.ID,Pengajian ketiga Menteng Muslim Center pada pertengahan November 2017 selain mengupas tentang tafsir Al-Qur’an, juga memberikan sejumlah waktu untuk berbagi pengalaman tentang apa yang dinamakan oleh William James sebagai ‘Mystical Experience’.

Pengajian Menteng Muslim Center pada pertengahan November 2017 yang dimoderatori ketua umum PB HMI periode 2013-2015 Arief Rosyid Hasan menghadirkan Ketua Umum BPL PB HMI Ustaz Arif Maulana dan Yusuf Daud dari Philosufi Centre Surabaya.

Pengajian yang bertempat di kawasan Menteng, Jakarta Pusat ini digelar sebulan sekali yang digagas alumnus program pertukaran pemimpin muda International Visitor Leadership Program (IVLP) ke Amerika dengan tema "Civil Society in Muslim Communities" selama 3 minggu pada Mei 2016.

Mereka adalah delapan pemuda-pemudi Muslim Indonesia, yakni Afri Darmawan (KAMMI Medan), Marzuki (pemimpin Pondok Pesantren Al Barokah, Klaten), Muhammad Milkhan (koordinator Kiai Muda Jateng), Anggia Ermarini (ketua umum PP Fatayat NU), Muhammad Fakhruddin (ketua bidang Hubungan Luar Negeri PP Pemuda Muhammadiyah), Yusuf Daud Risin (Sufi Centre Surabaya), Muhammad Arief Rosyid (mantan ketua umum PB HMI), dan Andriyana (mantan ketua umum PP KAMMI).

Pada sesi pertama dari pengajian ini, topik bahasan adalah berkaitan dengan permulaan ayat yang terdapat dalam Surah Al-Baqarah.

Ustaz Arif Maulana yang merupakan salah satu narasumber dalam pengajian ini menerangkan bahwa surah Al-Baqarah ini sangat komperhensif, bahkan merupakan surat yang jumlah ayatnya terbanyak. Dia mengulas kajian Menteng Muslim Center yang digelar Ahad (19/11), dalam tulisan di bawah ini:

Surat Al-Baqarah memiliki kandungan yang teramat luar biasa, di antaranya menyangkut: Allah menjadi sumber serba cukup dari segala makhluk, bukti-bukti keberadaan-Nya yang diterangkan berulang-ulang oleh para Nabi serta dapat dijangkau oleh akal manusia. Kemudian, hidup yang saleh (bukan sekedar percaya) merupakan konsekuensi niscaya dari persepsi intelektual, kematian jasad akan diikuti oleh kebangkitan dan pengadilan, dan terakhir, semua orang yang benar-benar sadar akan tanggung jawabnya kepada Allah “tidak perlu merasa takut, dan tidak pula bersedih hati”. Kelima kandungan isi Al-Baqarah ini diterangkan oleh seorang mufasir kontemporer, yaitu Muhammad Asad.

Mencermati beberapa bagian penting dari awal Surah Al-Baqarah ini, seperti pada ayat 2-4, yang dalam pandangan Arif Maulana merupakan bagian yang bercerita tentang aspek fundamental dari keimanan.

Karena itu pada ayat kedua, sengaja diterangkan terlebih dahulu bahwa “Al-Kitab” merupakan petunjuk hidup yang tidak perlu diragukan lagi keabsahannya. Dari sisi asal-muasalnya, ia sama-sama bersumber dari Allah, sebagaimana kitab-kitab terdahulu yang diyakini oleh umat Yahudi maupun Nashrani. Karena itu, mereka yang tradisi keagamaannya masih menganut agama-agama terdahulu mesti meyakini dan menerimanya sebagai pentunjuk, atau lebih tepatnya dalam hal ini adalah “pembaharuan/penyempurnaan ajaran” yang berasal dari Allah.

Sebaliknya, jika pengingkaran atau penolakan yang terjadi, manusia akan mengalami “ketercelupan” pada kesesatan. Masih berkaitan dengan hal ini, Yusuf Daud atau yang akab disapa Romo Yusuf menerangkan bahwa kata “Al-Kitab” dengan mengacu pada “itu”, menunjukan bahwa ia bukanlah seperti apa yang kita pegang hari ini (pada mulanya), akan tetapi mengacu pada Allah itu sendiri. Sehingga menjadi jelaslah bahwa yang mengingkarinya sama sekali tidak akan mendapatkan petunjuk.

Orang-orang yang mendapatkan petujuk di sini disebut dengan orang-orang yang bertaqwa (muttaqien), yang dengan merujuk pada Muhammad Asad, diartikan sebagai aspek yang mengacu pada hal yang bersifat transcendental, sekaligus juga berakibat material.

Karena itu, Asad mengartikannya dengan “kesadaran akan kemahahadiran Tuhan (God Consiusness) dengan sekaligus sikapnya untuk menyesuaikan diri di bawah cahaya kesadaran cahaya ketuhanan tersebut”. Dengan pengertian ini, tampaknya sisi kemenyeluruhan dan positif dari taqwa lebih muncul ketimbang dari pengertian taqwa pada umumnya.

Nurcholish Madjid misalnya, menerangkan bahwa pengertian Taqwa dalam arti “takut pada Tuhan” akan memberikan ketampakan aspek negatif dari Tuhan,  sikap menjaga diri dari perbuatan jahat, itu hanya mencakup satu segi saja dari tujuan taqwa.

Sedangkan “menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya” yang tentu saja akan memberikan kesan dari taqwa itu teramat legalistik. Oleh sebab itu, pengertian akan “kesadaran akan kemahahadiran Tuhan” inilah yang akan mengantarkan manusia untuk selalu terjaga, baik pada bagian lahir maupun batin darinya. Sebagai contoh sederhana, pada saat orang melaksanakan ujian sekolah, bilamana terdapat pengawas yang mengawasinya tentu saja ia akan fokus mengerjakan soal ujiannya sendiri.

Sebaliknya, jika tidak ada pengawas sangat berpontensi untuk menengok ke kanan-ke kiri. Itulah sebabnya, kewaspadaan seraya terus menghadirkan Tuhan dalam hidup akan mengantarkan manusia pada kualitas hidup yang tinggi.

Pada bagian ayat selanjutnya, yaitu ke-3, merupakan ciri-ciri atau konsekeunsi dari pada citra keberimanan seseorang, yaitu: beriman pada hal-hal yang ghaib, mendirikan sholat, dan menafkahkan sebagaian rezeki yang dimilikinya. Secara sederhana, ketiga hal ini membentuk sebuah hubungan horizontal dan vertical dengan tanpa kehilangan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan.

Kata “al-ghaib” di sana seringkali ditujukan pada hal-hal yang tak terlihat, yaitu pada segala bidang atau tahapan realitas yang berada di luar jangkauan persepsi manusia, sehingga tidak bisa dibuktikan oleh pengamatan ilmiah. Akan tetapi, orang-orang yang yakin pada realitas tertinggi yang melampaui wilayah yang dapat kita amati, ia akan memperoleh iman.

Di sini sangat tampak sekali bahwa pembuktian terhadap hal-hal yang ghaib itu berada di luar jangkauan indera lahir, akan tetapi oleh sebab adanya kepercayaan terhadap realitas tertinggi itulah yang menyebabkan manusia dapat memperoleh pengetahuan atau iman, yaitu melalui keterfungsian jiwa dan indera-indera bathin yang ada padanya.

Pada ayat 4, seakan sedang mengembalikan kembali pada “al-kitab” yang telah dibahas sebelumnya, yaitu kemestian meyakini pada kitab-kitab yang diturunkan Allah pada rasul-rasul sebelumnya. Di sini tampak sekali adanya doktrin akan kontinuitas-historis akan wahyu Allah, sehingga hidup diartikan bukanlah sekedar rentetan persitiwa yang terpisah-pisah, melainkan suatu proses yang berkesinambungan dan organik.

Ini juga berlaku bagi akal pikiran, yang di dalamnya pengalaman keagamaan manusia menjadi salah satu bagiannya. Karena itu, agama yang diajarkan oleh Al-Qur’an hanya dapat dipahami dengan benar berdasarkan latar belakang agama-agama monoteis besar sebelumnya, yang menurut umat muslim memuncak dan mencapai rumusan akhirnya dalam agama Islam.

Pada ayat ke-5, Tuhan memberikan keterangan bahwa orang-orang yang menerima dan mengikuti petunjuk yang diberikan oleh Allah melalui “al-kitab” itulah yang akan meraih kebahagiaan. Tampak di sini aspek lain, yaitu pancaran yang dihasilkan oleh keimanan seseoranglah yang menjadi sebab adanya kebahagiaan bagi dirinya dan sekelilingnya.

Dengan kata lain, keimanan mereka itu melahirkan sikap adil, menyelamatkan orang dari kekerdilan jiwa, tidak cemas dan gelisah, dan pada akhirnya memiliki efek hidup dalam standar moral yang tinggi, berupa amal salih.

 

Seri terakhir dari pengajian malam ini ditutup dengan berbagi pengalaman ruhani dari masing-masing peserta yang hadir, yang pada pokoknya mengutarakan kesadaran dan kecintaan terhadap Tuhan itulah yang akan menyebabkan selainnya menjadi sirna, dalam arti tertutup oleh kemahaindahan Tuhan. Karena itu, taat, dan cinta pada Tuhan itu butuh bukti dan usaha terus-menerus, dengan tanpa lelah untuk menjalaninya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement