Jumat 02 Mar 2018 09:54 WIB

Menteng Muslim Center Gagas Komunitas Muslim Anti-hoaks

Hakekatnya masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang santun dan beretika.

 Peserta pengajian Menteng Muslim Center dengan tema
Peserta pengajian Menteng Muslim Center dengan tema

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Menteng Muslim Center menggelar pengajian dengan tema yang lebih populer. Pengajian yang digelar tiap sebulan sekali pada Senin di minggu terakhir ini sudah memasuki pengajian keenam (26/2) dengan tema "Muslim Antihoaks".  

Ketua umum PB HMI periode 2013-2015 Arief Rosyid Hasan yang memoderatori pengajian membuka pengajian dengan mengungkapkan keresahannya atas hoaks yang semakin merajalela. Arief mengungkapkan berita-berita hoaks tak saja dinikmati oleh mereka dengan tingkat pendidikan rendah, tapi juga oleh mereka yang berpendidikan tinggi bahkan profesor.

"Di banyak sosial media yang saya tekuni, tak sungkan mereka mengabarkan hoaks ini. Merasa tak punya beban apa-apa kecuali membela kepentingannya sendiri. Mereka lupa bahwa darinya pemuda banyak mengambil pelajaran, mungkin anak, keponakan, cucu, mahasiswa, hingga muridnya," ungkap Arief yang juga ketua Departemen Pemuda dan Remaja Masjid Dewan Masjid Indonesia (DMI) ini.

Arief berharap dari diskusi ini banyak muncul ide dalam menggagas Komunitas Muslim Antihoax yang tersebar di lorong-lorong desa hingga di mall-mall kota besar. Juga tentu di masjid sebagai pusat peradaban.

Pengajian menghadirkan narasumber Chief Operating Officer (COO) Kompasiana Iskandar Zulkarnaen, Redaktur Republika Muhammad Fakhruddin, dan Alumnus International Visitor Leadership Program (IVLP) Yudha P Sunandar.

Iskandar mengungkapkan, produksi dan distribusi konten tipuan menjadi sangat massive karena kondisinya yang mendukung. Pertama, setiap orang Indonesia pascakejatuhan rezim Soeharto memiliki kebebasan untuk menampilkan identitas dirinya segamblang mungkin. Kedua, setiap orang bisa dengan mudah memproduksi dan mendistribusikan konten palsu dan fitnah keji. "Karena alat dan teknologinya tersedia dan terjangkau," kata Iskandar.

Ketiga, di lain sisi, beberapa media pers merasa punya kewajiban untuk membela kebenaran sesuai dengan versi dan keyakinannya masing. Padahal, lanjut Iskandar, elemen pertama jurnalistik, menurut Kovach, adalah menyampaikan kebenaran, bukan berpihak pada kebenaran.

Maka, untuk mengatasinya, akan lebih efektif kalau masyarakat diberikan edukasi seputar literasi digital. "Mereka harus paham karakter masing-masing platform media sosial dan bagaimana platform digital tersebut membentuk perilaku penggunanya," ujar Iskandar yang akrab disapa Isjet ini.

Menurut Isjet, masyarakat juga harus disadarkan bahwa pada hakikatnya masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang santun dan selalu berpegang pada etika saat berinteraksi dengan orang lain di dunia nyata. Tapi, mengapa etika itu tidak digunakan saat berinteraksi di dunia maya. "Etika ini yang hilang dan harus digaungkan lagi agar menjadi panduan saat berkomunikasi dengan orang lain, baik secara langsung maupun lewat ponsel," kata Isjet.

Yudha P Sunandar mengungkapkan, umumnya hoaks-hoaks ini memiliki kemampuan untuk meresahkan masyarakat dan menyulut emosi pembacanya. Bila kondisi ini dibiarkan, bisa jadi pada masa yang akan datang, masyarakat akan kehilangan karakter masyarakat Indonesia yang positif dan ramah. "Berganti dengan masyarakat yang penuh dengan kegelisahan dan bersumbu pendek," kata Yudha.

Untuk menghindari hal itu, salah satunya caranya dengan mulai membangun informasi positif untuk masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, media massa dan masyarakat produsen konten memiliki andil besar untuk mewujudkan “makanan” yang baik bagi ruang pikiran masyarakat.

"Di ranah media massa, mereka bisa mulai dengan menerapkan jurnalisme inspiratif, atau jurnalisme positif. Gaya jurnalisme jenis ini menekankan pada kekuatan dan sisi positif cerita, dibandingkan mengeksploitasi kelemahan dan sisi negatifnya," kata Yudha.

Sekjen PP KAMMI Phirman Reza yang juga hadir dalam pengajian tersebut mengatakan, pemuda Muslim harus aktif dalam melakukan gerakan pencerdasan kepada umat. Menurutnya, dengan perkembangan IT yang cepat harus diimbangi dengan kemampuan selektif dalam mengambil informasi. "Jangan sampai umat menjadi sasaran provokatif dari kelompok kepentingan dan informasi yang merusak pola pikir generasi muda," katanya.

Pengajian yang bertempat di kawasan Menteng, Jakarta Pusat ini digelar sebulan sekali digagas alumnus program pertukaran pemimpin muda International Visitor Leadership Program (IVLP) ke Amerika dengan tema "Civil Society in Muslim Communities" selama 3 minggu pada Mei 2016.

Mereka adalah delapan pemuda-pemudi Muslim Indonesia, yakni Afri Darmawan (KAMMI Medan), Marzuki (pemimpin Pondok Pesantren Al Barokah, Klaten), Muhammad Milkhan (koordinator Kiai Muda Jateng), Anggia Ermarini (ketua umum PP Fatayat NU), Muhammad Fakhruddin (ketua bidang Hubungan Luar Negeri PP Pemuda Muhammadiyah 2015-2018), Yusuf Daud Risin (Sufi Centre Surabaya), Muhammad Arief Rosyid (mantan ketua umum PB HMI), dan Andriyana (mantan ketua umum PP KAMMI).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement