Kamis 04 May 2017 08:07 WIB

Jadi Tokoh Perbukuan Islam 2017, Ini Kata Ustaz Bachtiar Nasir

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Andi Nur Aminah
Ustaz Bachtiar Nasir.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Ustaz Bachtiar Nasir.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islamic Book Award 2017 di perhelatan Islamic Book Fair (IBF) 2017 memberi penghargaan kepada Ustaz Bachtiar Nasir sebagai Tokoh Perbukuan Islam 2017. Menurut Ustaz Bachtiar, bukan banyaknya tulisan yang jadi ukuran keilmuan seseorang.

Usai menerima penghargaan tersebut di ajang IBF di Balai Sidang Jakarta (JCC), Rabu (3/5), Ustaz Bachtiar Nasir mengungkapkan, satu pegangan dalam hidupnya terkait keilmuan adalah QS Ali Imran ayat 18. Dari ayat ini, ukuran ilmu seseorang adalah dari rasa takut kepada Allah bukan seberapa banyak tulisan yang dihasilkan. Itu sebabnya Imam Bukhari menyusun hadits shahih dari bab niat.

Ia mengutip nasihat seorang ayah bijaksana kepada anakanya agar setiap kali sang anak menulis satu kalimat ilmu, berhenti sejenak untuk bertanya pada hatinya apakah ada rasa takut yang bertambah kepada Allah SWT. Jika tidak, sang anak jangan meneruskan menulis. "Tidak ada yang bertambah dari ilmu ketika tidak bertambah takut kepada Allah SWT," kata Ustaz Bachtiar.

Tapi itu saja tidak cukup, apalagi di Indonesia. Tidak cukup hanya pintar, karena kemungkinan akan melenceng. Tidak cukup hanya cerdas, tapi butuh keberanian untuk menegakkan keadilan sebagai seorang ilmuwan.

Dalam Ali Imrah ayat 18, setelah Allah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan selain Allah, disejajarkan antara malaikat dan orang-orang berilmu. Para ulama menafsirkan ukuran keilmuan seseorang diukur setelah ia mengakui tak ada sembahan selain Allah SWT dan ia puncak kesadaran berilmu, ia bersama para malaikat menegakkan keadilan. "Tapi, risiko menjadi penegak keadilan adalah dibunuh," kata Ustaz Bachtiar.

Menjadi ilmuwan jujur memang berat. Karena pelacur intelektual jauh lebih hina dari pelacur seksual. Dia mengatakan, di sana pertaruhannya, tidak cukup tinta, tapi butuh keberanian.

Bactiar mengatakan, ilmuwan yang punya keberanian kuat menegakkan keadilan punya pegangan kuat di ujung ayat itu, Allah Maha Kuasa dan Maha Menempatkan Sesuatu pada Tempatnya. "Tidak ada pertarungan hidup paling tinggi bagi saya khususnya di Indonesia untuk menegakkan keadilan selain menjadikan fatwa ulama sebagai pegangan pertama," ungkap Ustaz Bachtiar.

Kedua, kepemimpinan informal ulama juga harus jadi bagian budaya Indonesia. Ketiga, deligitimasi ulama dan Majelis Ulama adalah puncak keruntuhan umat. "Karena itu pertarungannya adalah hidup dan mati," kata Ustaz Bachtiar.

Ustaz Bachtiar Nasir lahir di Jakarta, 26 Juni 1967. Suami dari dr Amelia Hidayati ini  merupakan lulusan Pesantren Moderen Gontor Ponorogo dan Pesantren Daarul Huffazh Bone Sulsel. Ia menyelesaikan pendidikan tinggi di Madinah Islamic University Arab Saudi.

Pada 2008, Bachtiar mendirikan Ar-Rahman Quranic Learning Center (AQL) dan dari sana Gerakan Nasional Tadabbur Alquran bermula. Ia merupakan pemimpin Pesantren Ar-Rahman Qur'anic College (AQC) pada 2009 dan Ar-Rahman Islamic School pada 2016.

Ia menjabat sebagai Wasekjen Dewan Pertimbangan MUI, Sekjen MIUMI, anggota pengurus PP Muhammadiyah, dan ketua Alumni Maddinah Islamic University.

Buku-buku karya Ustaz Bachtiar Nasir antara lain Meraih Mutiara Alquran (AQL), Tadabbur Alquran (GIP), Anda Bertanya Kami Menjawab (GIP), Menyelami Mutiara Wahyu (AQL Publishing), Masuk Surga Sekeluarga (AQL Publishing).

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement