Sabtu 04 Jun 2016 13:43 WIB

Muhammad Ali: Allah The Greatest!

Muhammad Ali
Foto:
Muhammad Ali dengan pelatihnya Angelo Dundee. Dundee inilah yang kemudian mengorbitkan beberpa petinju legendaris lainnya seperti Sugar Ray Leonard, George Foreman, Hector Camacho.

Setelah menaklukkan Foreman, Ali pun kebanjiran job bertinju di berbagai belahan dunia. Olahraga tinju profesional yang saat itu seolah tak punya harga berubah menjadi olahraga gemerlap yang berbayar sangat mahal. Ali menikmati kejayaan itu dan baru turun dari takhtanya setelah dikalahkan petinju asal Inggris pada akhir September 1978, Leon Spink.

Namun, gelar ini tak lama kemudian direbutnya kembali. Dan baru pada 10 Februari 1980 Ali benar-benar kehilangan sabuk juara tinjunya setelah dikalahkan mantan "anak asuhnya", Larry Holmes. Setelah itu, Ali pensiun dan malah kemudian terkena penyakit parkinson sampai dia meninggal pada Sabtu ini (4/6).

Indonesia pun sempat menyaksikan aksi Muhammad Ali melawan petinju asal Belanda, Rudi Lubbers pada 14 Oktober tahun 1973 di Jakarta. Dalam pertarungan yang dipromotori Raden Sumantri itu, mantan wartawan senior Republika, Puwadi, yang saat itu menjadi wartawan majalah Panji Masyarakat sempat mewawancarai Ali yang menginap di Hotel Sahid, Jakarta. Menurut dia, Ali orang yang sangat ramah dan murah senyum.

Uniknya, pertarungan di Jakarta saat itu dipilih menjadi representasi orang Indonesia melawan kolonialisme Belanda yang dilambangkan dengan sosok Rudi Lubber. Sebanyak 45 ribu orang mendatangi Istora Senayan untuk melihat pertarungan itu meski harus membeli karcis dengan harga yang saat itu terasa cukup mahal, antara Rp 1.000 hingga Rp 27 ribu.

"Saya kaget ketika pintu kamar terbuka dan di sana ada Muhammad Ali. Orangnya tinggi besar. Dan saya pun gemetar ketika hendak memotretnya. Syukurlah dia kemudian memanggil saya dan mengajak berfoto sembari tersenyum sehingga grogi saya hilang seketika," tutur Purwadi ketika menceritakan pertemuannya dengan Muhammad Ali yang saat itu pun sempat diarak keliling Kota Jakarta.

Bahkan, tak hanya sewaktu Ali bertanding di Jakarta, bilamana ada pertandingan Ali, seluruh orang Indonesia sepertinya berada di depan televisi. Jalanan sepi. Kantor dan sekolahan "diliburkan" sejenak. Semua terbius Ali, baik ketika dia kalah maupun menang. Teriakan "Ali... Ali... Ali..." selalu terdengar dari depan televisi hitam putih sederhana. Sejenak, rakyat Indonesia melepaskan emosi dan melupakan belitan amuk kemiskinan yang sehari-hari dirasakannya.

Di masa tua, Ali pun lebih banyak berkutat dengan lembaga amal. Putrinya, Laila Ali, melanjutkan keemasan namanya dengan menjadi juara tinju wanita.

Uniknya, beberapa tahun setelah lama gantung sarung tinju dan kemudian ditanya apakah masih menyebut dirinya sebagai the Greatest, Ali pun menjawabnya sembari tersenyum dan mengangkat tangan dengan menunjukkan jari telunjuk ke atas: "Allah is the Greatest!"

Dan dalam talkshow di sebuah televisi di Inggris Ali yang berbincang bersama Freizer, Foreman, menyatakan tak percaya bila dirinya yang terbesar. Dia malah menyebut Joe Freizer yang duduk di sampingnya  lebih berhak menyandang sebutan itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement