Kamis 16 Mar 2017 23:35 WIB

Ini Perbedaan Pajak dan Dharibah

Rep: Syahruddin el-Fikri/ Red: Agung Sasongko
Pajak/ilustrasi
Foto: Pajak.go.id
Pajak/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam syariat Islam, pajak disebut dengan dharibah. Kata dharibah berasal dari akar kata dharaba-yadhribu-dharban. Ada banyak arti dari akar kata itu, di antaranya adalah mewajibkan, menetapkan, menentukan, memukul, menerangkan, dan membebankan.

Menurut pakar fikih, Gazy Inayah, kata dharibah dalam syariat Islam berarti beban. Diartikan demikian, katanya, karena dharibah atau pajak merupakan kewajiban lain yang harus dikeluarkan seorang Muslim selain zakat. Namun, syariat Islam telah menetapkan bahwa dharibah hanya dapat digunakan untuk kemaslahatan umat Muslim. Tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan yang melibatkan orang non-Muslim.

Syariat Islam juga mengenal pembayaran yang mirip dengan dharibah, yaitu jizyah dan kharraj. Perbedaan ketiganya terletak pada objek yang dikenakan beban. Dharibah adalah pajak yang dikenakan atas al-mal atau harta benda; jizyah adalah pembayaran yang dibebankan kepada orang non-Muslim untuk menjamin keselamatan jiwa yang bersangkutan; sedangkan kharraj merupakan kewajiban pembayaran atas tanah atau hasil bumi.

Lantas, apa definisi dharibah menurut syariat Islam? Abdul Qadim Zallum, seperti dikutip Gusfahmi dalam Pajak Menurut Syariah, mendefinisikan dharibah sebagai harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum Muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, ketika kondisi baitul mal tidak ada uang atau harta.

Berdasarkan definisi itu, Gusfahmi menyimpulkan ada lima unsur dalam dharibah. Pertama, dharibah itu diwajibkan oleh Allah SWT kepada umat Islam. Kedua, objeknya adalah harta benda. Ketiga, pelakunya terbatas orang-orang Muslim yang kaya. Keempat, tujuannya untuk membiayai keperluan umat Muslim saja. Dan kelima, diberlakukan dalam kondisi darurat.

Definisi Zallum itu juga menarik perhatian Gusfahmi untuk mengupasnya lebih dalam. Katanya, berdasarkan penjelasan Zallum itu, dharibah bersifat kondisional. Seorang penguasa baru boleh menarik dharibah ketika baitul mal mengalami kekosongan uang. Dan setelah uang di baitul mal sudah banyak maka dharibah kembali tidak diberlakukan.

Di samping itu, dharibah hanya diberlakukan bagi umat Muslim dan digunakan untuk kepentingan umat Muslim, sebagai wujud jihad mereka untuk mencegah datangnya bahaya yang lebih besar jika baitul mal kosong.

Atas dasar itulah, konsep dharibah punya perbedaan dengan konsep pajak modern. Jika dharibah bersifat kondisional, pajak berlaku secara berkelanjutan. Di samping itu, dharibah hanya dipungut dari orang-orang Islam yang kaya sedangkan pajak diambil dari siapa saja tanpa membedakan agama.

Perbedaan lainnya, dharibah hanya dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat Islam, tetapi pajak digunakan untuk kepentingan umum. Dan, dharibah hanya dipungut untuk memenuhi target yang telah ditentukan, dan setelah itu dharibah dihapuskan. Sedangkan, pajak tidak mungkin dihapuskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement