Ahad 06 Mar 2016 06:56 WIB

Seni Musik di Masa Kejayaan Islam

Rep: Marniati/ Red: Agung Sasongko
Alat musik rebana.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Alat musik rebana.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perluasan wilayah membawa dampak yang luar biasa bagi peradaban Islam. Terjadi dialektika antarperadaban yang memicu transformasi sains dan budaya, tak terkecuali musik. Kondisi ini memicu diskusi hangat seputar hukum musik dan bermusik, setidaknya pada abad-abad awal, ketika dinasti Islam berkuasa.    

Kendati demikian, diskursus seputar hukum musik itu tak memengaruhi kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah ketika itu. Abdurrahman al- Baghdadi dalam Seni dalam Pandangan Islam menjelaskan, para khalifah terdahulu tidak pernah melarang rakyatnya mempelajari seni suara dan musik.

Mereka dibiarkan mendirikan sekolah-sekolah musik dan membangun pabrik alat-alat musik. Mereka diberikan gairah untuk mengarang buku-buku tentang seni suara, musik, dan tari. Negara juga tidak pernah mengambil tindakan hukum terhadap biduan atau biduanita yang bernyanyi di rumah-rumah individu. Bahkan, mereka diberi izin untuk bernyanyi di istana dan di rumah penguasa. 

Dilansir dari andrsib.com, di bawah Kekhalifahan Umayyah (661-750), gaya klasik musik Islam dikembangkan lebih lanjut. Ibu kota dipindahkan ke Damaskus (Suriah) dan tempat yang dipadati dengan musisi laki-laki dan perempuan dibuat menjadi kelas terpisah.

Banyak musisi terkemuka kelahiran Arab. Tapi, unsur asing terus memainkan peran dominan dalam musik Islam. Musisi terbesar dan pertama dari era Umayyah adalah Ibn Misjah sering dihormati sebagai bapak musik Islam. Ibn Misjah lahir di Makkah dari keluarga Persia.

Dia adalah seorang ahli teori musik dan terampil menyanyi dan bermain kecapi. Ibn Misjah melakukan perjalanan ke Suriah dan Persia untuk belajar teori dan praktik musik Bizantium dan Persia serta menggabungkan banyak pengetahuan yang diperoleh dalam lagu seni Arab.

Meskipun ia mengadopsi unsur-unsur baru seperti mode musik asing, ia menolak sifat-sifat musik lainnya karena tidak cocok untuk musik Arab. Pengetahuan tentang kontribusi dan informasi penting tentang musik dan kehidupan musik telah ada sejak tiga abad pertama Islam.

Pada masa Abbasiyah dijuluki masa keemasan dalam musik Islam. Musik wajib bagi setiap orang belajar, ditangani dengan beragam aspek-seperti keahlian, teori estetika, tujuan etika, dan terapi, pengalaman mistik, dan spekulasi matematika.

Artis diharuskan memiliki kemampuan teknis, daya kreatif, dan pengetahuan. Di antara seniman terbaik periode ini, yaitu Ibrahim al-Mawsili dan anaknya Ishaq. Mereka adalah keluarga Persia yang mulia dan kepala musisi pengadilan serta sahabat dekat dari khalifah Harun ar-Rasyid dan al-Ma'mun.

Abdurrahman al-Baghdadi menambahkan, sekolah musik yang paling sempurna dan teratur adalah yang didirkan oleh Said Abdul Mukmin. Sejarah telah mencatat bahwa pusat pabrik pembuatan alat-alat musik yang sangat terkenal ada di Kota Sevilla (Andalusia atau Spanyol).

Pada masa itu, cakrawala umat Islam juga diramaikan oleh biduan dan biduanita yang status umumnya adalah pelayan. Mereka ini bukan penyanyi bayaran yang disewa untuk setiap pertunjukannya. Merekalah yang bernyanyi untuk menghibur khalifah dan para penguasa lainnya di istana dan rumah mereka masing-masing. Setiap pelayan menghibur tuannya sendiri-sendiri.

Hasmy dalam Sejarah kebudayaan Islam menyebutkan salah satu sebab mengapa selama Dinasti Abbasiyah banyak berdiri sekolah musik adalah karena keahlian menyanyi dan bermusik menjadi salah satu syarat bagi pelayan (budak) pengasuh, dayang-dayang di Istana dan di rumah pejabat negara ata pun di rumah para hartawan untuk mendapatkan pekerjaan. 

Di antara pelayan (jawari) atau biduan dan biduanita yang menjadi penyanyi di istana, yaitu Na'bad, al-Kharid, dua bersaudara Hakam dan Umar al-Wady, Fulaih bin Abi 'Auraa', Siyath,

Nasyith, Ibrahim Al Muasully, dan putranya, Ishaq al-Mausilly. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement