Oleh: M Rizal Fadillah
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di pesawat saat perjalanan umrah, saya membaca berita unik di surat kabar Arab News berjudul “Two held in Makkah over ‘black magic’”. Seorang perempuan Sudan dan seorang lelaki Saudi ditangkap karena melakukan praktek perdukunan di distrik Rusaifah Makkah.
Modelnya adalah menjampi perempuan agar sang suami menyayanginya dan tidak melaksanakan niat untuk menikah dengan perempuan lain. Persyaratannya adalah membayar 5.000 real dan memberikan pakaian dalam pasangannya untuk dibacakan mantra. Berita ini menarik karena terjadi di kota suci Makkah dan tentunya mereka ditangkap.
Praktek perdukunan nyatanya tidak saja aktual, tetapi juga mengglobal. Kehidupan yang semakin panas dengan persaingan yang semakin keras membuat orang menjadi mudah hilang akal dan sesak dada. Lalu panik dan berusaha untuk mencari pegangan. Sayangnya, alternatif yang dipilih adalah jalan mistik.
Di sekitar kita kultur mistik ini juga merajalela dan terbuka. Lihat saja di media lokal. Para dukun alias paranormal bisa dengan bebas dan terbuka mengiklankan diri menjajakan ilmu pengasihan, disayang pasangan, laku dagangan, dibacok tak mempan, hingga naik jabatan. Konsumen membeli sabuk, keris, atau jimat dengan tulisan arab. Cincin-cincin bertuah juga ada. Tentu dengan keharusan untuk membayar “mahar”.
Intinya mereka merasa butuh penolong dan pelindung serta jalan menuju harapan. Mereka terdiri dari masyarakat jelata, artis, pengusaha, hingga pejabat tinggi. Dukunnya bisa bergelar mbah, eyang, ki, bahkan ada juga ustaz dan kiai.
Rasulullah SAW dengan tegas melarang perbuatan yang dapat dikategorikan syirik ini. Sabda Beliau SAW, “Barang siapa mendatangi dukun lalu mempercayai apa yang diucapkannya, maka ia telah kafir terhadap apa yang dihukumkan Muhammad” (HR Abu Dawud dan Ahli Sunan yang empat disahihkan oleh Hakim).
Demikian juga dengan hadis ini, “Sesungguhnya para malaikat turun dari langit, lalu menyebut perkara yang diputuskan dari langit, kemudian jin mencuri pendengaran dari para malaikat tadi, lalu ia mendengarkannya, kemudian ia sampaikan berita itu kepada para dukun. Padahal, berita itu dicampur dengan seratus kebohongan dari jin itu sendiri”. (HR Bukhari Muslim).
Berita “oplosan” seratus kebohongan inilah yang disampaikan lagi oleh para dukun kepada orang yang berkebutuhan, tertipu, serta merasa yakin atas nasihat dan mantra-mantranya. Dahulu wajah dukun itu menyeramkan berpakaian hitam, bau kemenyan dari asap dupa di depannya.
Aksesori di sekitarnya mencitrakan suasana magis dan gelap. Namun, sekarang sudah jauh berbeda. Sang dukun sudah berpakaian biasa dan tak jarang berjas dasi, bahkan memakai peci. Berpraktek di area perkantoran dan tak aneh jika menerima klien pun di hotel berbintang. Mobil bagus adalah kendaraannya. Sebagai kawan jin yang gurunya adalah setan, maka pada hakikatnya ia pandai menipu. Rayuannya sangat membuai sehingga pesakitan pun merasa benar atas apa yang dijalankannya.
Ia merasa ini sebagai upaya untuk mencari peruntungan hidup. Padahal, itu dapat menjadi “pentungan” hidup yang akan membawa kecelakaan di dunia dan akhirat. Masyarakat awam yang percaya dan mendatangi dukun akan merugi sendiri. Terlebih, jika pelaku adalah pemimpin di masyarakat atau suatu negara sehingga akibatnya menjadi lebih luas lagi. Bencana akan diturunkan oleh Allah SWT akibat amanah yang teracuni. Wallahu'alam.