Kamis 14 Jul 2016 14:12 WIB

Begini Islam Memandang Pernikahan Dini

Rep: Hafidz Muftisany/ Red: Agung Sasongko
Pernikahan dini (Ilustrasi).
Foto: IST
Pernikahan dini (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kabar pernikahan yang melibatkan anak usia dini kembali mencuat. Angka pernikahan dini di Indonesia juga cukup tinggi. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pernah melansir jumlah remaja Indonesia yang sudah memiliki anak, cukup tinggi yakni 48 dari 1000 remaja.

Pernikahan anak usia dini banyak terjadi utamannya di masyarakat pedesaan. Pernikahan anak usia dini sebenarnya tidak diperkenankan menurut UU Perkawinan. Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menyebut, "Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun."

Jika pernikahan anak usia dini diatur dalam hukum negara, bagaimana dengan hukum Islam? Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa tentang pernikahan dini. Menurut MUI, dalam literatur fikih islam tidak terdapat ketentuan secara eksplisit mengenai batasan usia pernikahan. Baik itu batasan minimal maupun maksimal. 

Allah SWT berfirman, "Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan yang perempuan." (QS an-Nur [24] :32). Menurut sebagian ulama, yang dimaksud layak adalah kemampuan biologis. Artinya memiliki kemampuan untuk menghasilkan keturunan.

Meski demikian, hikmah disyariatkannya pernikahan adalah menciptakan keluarga yang sakinah serta dalam rangka memperoleh keturunan. Menjaga keturunan (hifz al-nasl) adalah salah satu tujuan diturunkannya syariat Islam. Maka kemampuan menjaga keturunan tersebut juga dipengaruhi usia calon mempelai yang telah sempurna akalnya dan siap melakukan proses reproduksi.

Menurut syariat Islam, usia kelayakan pernikahan adalah usia kecakapan berbuat dan menerima hak (ahliyatul ada' wa al-wujub). Islam tidak menentukan batas usia namun mengatur usia baligh untuk siap menerima pembebanan hukum Islam. 

MUI mempertimbangkan semua pandangan ulama soal hukum pernikahan dini. Ada beberapa perbedaan pendapat soal kebolehan pernikahan ini. Jumhur ulama fikih, papar MUI, sebenarnya tak mempermasalahkan soal pernikahan usia dini. 

Sementara itu Ibn Hazm memilih hukum nikah usia dini pada lelaki dan perempuan. Pernikahan usia dini pada perempuan yang masih kecil oleh orang tua atau walinya diperbolehkan. Sementara pernikahan dini untuk anak lelaki tidak diperbolehkan.

Pendapat berbeda diungkapkan oleh Ibnu Syubrumah dan Abu Bakar al-Asham. Menurut mereka, pernikahan dini hukumnya terlarang. Pendapat yang terdapat dalam Fathul Bari ini menyebutkan kebolehan nikah dini merujuk pada pernikahan Nabi SAW dan Aisyah, maka hal tersebut adalah sebuah kekhususan. Praktik pernikahan tersebut hanya dikhususkan untuk Nabi SAW dan tidak untuk umatnya. 

Berdasar beberapa pertimbangan tersebut, MUI memutuskan pernikahan dini pada dasarnya sah sepanjang telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah. Namun hukumnya akan menjadi haram jika pernikahan tersebut justru menimbulkan madharat. 

Kemudian, kedewasaan usia adalah salah satu indikator bagi tercapainya tujuan pernikahan. Tujuan pernikahan adalah kemashlahatan hidup berumah tangga dan bermasyarakat serta jaminan bagi kehamilan. Lantas, MUI memutuskan demi kemashlahatan, ketentuan pernikahan dikembalikan kepada ketentuan standardisasi usia merujuk UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

MUI tak lupa memberikan rekomendasi beserta ketentuan hukum yang dikeluakannya. MUI merekomendasikan pemerintah lebih gencar mensosialisasikan soal UU No 1 Tahun 1974. Tujuannya agar mencegah pernikahan dini yang menyimpang dari tujuan dan hikmah pernikahan.

Para ulama, masyarakat serta pemerintah juga diminta memberikan sosialisasi tentang hikmah perkawinan dan menyiapkan calon mempelai baik laki-laki dan perempuan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement