Senin 30 Nov 2015 20:31 WIB

Beri Kesaksian Palsu, Memalukan!

Munafik/ilustrasi
Foto: top-10-list.org
Munafik/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjadi kewajiban setiap Muslim menghiasi diri dengan akhlak yang baik. Melalui akhlak, seorang Muslim akan memiliki rasa malu yang tinggi.

Dalam bukunya 'Selangkah Lagi Anda Masuk Surga', Direktur Pusat Kajian Hadis Jakarta, Ahmad Lutfi Fathullah mengatakan, rasa malu yang dimaksud adalah malu untuk bertindak salah dan melanggar hukum. "Pribadi Muslim yang baik memilliki rasa malu. Bukan rasa malu berbuat baik tapi malu berbuat dosa," kata dia.

Diriwayatkan Ibnu Umar, Rasulullah berjalan melalui seseorang dari golongan Anshar yang sedang menasehati saudaranya agar mengurangi rasa malu. Kemudian, Rasulullah bersabda, biarkanlah dia, sifat malu adalah sebagian dari iman. (Bukhari Muslim).

Juga diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, iman memiliki tujuh puluh atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama ialah ucapan la ilaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan sesuatu yang menggangu jalan. Rasa malu adalah salah satu cabang keimanan. (Bukhari Muslim).

Saat ini, begitu banyak mereka yang mengaku Islam tapi tidak memiliki rasa malu berbuat salah. Mulai dari hal besar seperti korupsi hingga dengan mudahnya memberikan kesaksian palsu.

Padahal memberikan kesaksian palsu merupakan ciri dari orang munafik yang dibenci Allah. Diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, tanda orang munafik ada tiga yakni jika berbicara dia berdust, jika berjanji ia ingkar, dan bila dipercaya dia khianat.

Tiga tanda itu sudah banyak kita lihat. Bahkan kita bisa melihat secara langsung dari televisi. Diriwayatkan Ibnu Umar, Rasulullah berkata, sebesar-besarnya dusta adalah seseorang yang memaksakan kedua matanya melihat padahal dia tidak melihat (Bukhari Ahmad).

Dalam Syarah Riyadhus Shalihin, ucapan palsu didefinisikan sebagai sebuah kebohongan dan perbuatan yang mengada-ada.

Perbuatan ini merupakan salah satu dari dosa-dosa yang membinasakan dan paling berat ketentuan hukum haramnya. Syekh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin menerangkan saksi palsu sebagai seseorang bersaksi terhadap sesuatu yang dia tidak mengetahui atau mengetahui yang sebaliknya.

Saleh al-Fauzan dalam Fikih Sehari-hari berpendapat, seorang saksi haruslah menjelaskan apa yang telah ia saksikan dan ketahui. Kesaksian yang benar adalah sebuah kewajiban yang hukumnya fardu kifayah. Allah SWT berfirman, “Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberikan keterangan) apabila mereka dipanggil.” (QS al Baqarah [2] : 282).

Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini menyatakan, ini merupakan perintah untuk menunaikan persaksian dan menyampaikannya kepada hakim. Sebab, hal itu sangat dibutuhkan untuk menegakkan kebenaran dan hak.

Dari Abu Bakrah RA, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Maukah kau kuberi tahu tentang dosa besar yang paling besar?” Kami menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Menyekutukan Allah dan durhaka  kepada kedua orang tua.” Ketika itu beliau sedang bersandar, kemudian beliau duduk lalu bersabda lagi, “Ketahuilah demikianlah pula ucapan bohong!” Beliau mengucapkannya berulang-ulang sehingga kami berkata, “Mudah-mudahan beliau diam.” (HR Bukhari Muslim). Allahu A'lam

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement