Selasa 23 Sep 2025 11:11 WIB

Baitul Maqdis Institute Nilai Pengakuan terhadap Israel Bisa Memberi Celah

Israel terus melakukan genosida di Palestina.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
Ilustrasi Bendera Israel dan Palestina
Ilustrasi Bendera Israel dan Palestina

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Baitul Maqdis Institute mengapresiasi dukungan Presiden RI Bapak Prabowo Subianto, terhadap perjuangan Palestina. Namun, pernyataan beliau di Sidang Umum PBB pada 22 September 2025, bahwa Indonesia bersedia mengakui Israel dan menjamin keamanannya jika Israel mengakui negara Palestina dinilai Baitul Maqdis Institute tergesa-gesa.

Direktur Utama Baitul Maqdis Institute, Ustadz Fahmi Salim mengatakan, statement ini dinilai tidak melibatkan konsultasi publik secara luas. Kebijakan untuk sekedar mengakui Palestina tidak boleh dijadikan alat tawar bagi Indonesia, yang memiliki mandat konstitusi melawan dan menghapus penjajahan, untuk mengakui penjajah Israel. 

Baca Juga

"Tanpa ada tindakan konkret dari penjajah untuk menghentikan penistaan terhadap Masjid Al Aqsha, menghentikan blokade dan genosida di Gaza, mengakhiri aneksasi dan pendudukan ilegal di Tepi Barat, serta mengakui hak kembali bagi pengungsi Palestina, dan status Al-Quds ibukota negara Palestina, maka pengakuan atas Israel tidak bisa diterima akal sehat," kata Ustadz Fahmi kepada Republika, Selasa (23/9/2025).

Direktur Eksekutif Baitul Maqdis Institute, Pizaro Gozali Idrus menambahkan, bahkan dalam Perjanjian Oslo sekalipun, yang sering diklaim sebagai langkah menuju perdamaian, Israel hanya mengakui sejumlah kewenangan administratif Otoritas Palestina, namun tidak pernah menunjukkan niat serius untuk mengakhiri penjajahan secara penuh. 

Ia menegaskan, penjajahan terus berlanjut, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) semakin memburuk, dan penghinaan terhadap tempat-tempat suci seperti Masjid Al-Aqsha kian intensif. 

"Kami khawatir, sikap terlalu terbuka untuk mengakui Israel justru memberi celah bagi Israel untuk sekadar memberikan pengakuan formal terhadap Palestina, tanpa aksi faktual untuk menghentikan penjajahan, penindasan, dan genosida," ujar Pizaro.

Pizaro mengingatkan, ini akan menjadi jebakan diplomatik yang merugikan perjuangan Palestina dan membuka jalan normalisasi tanpa keadilan. Keadilan harus menjadi panglima dan kata kunci untuk menghadirkan perdamaian dunia yang abadi.

"Kami menekankan bahwa perjuangan Palestina bukan semata persoalan diplomatik, melainkan persoalan keadilan, hak asasi manusia, dan penegakan hukum internasional. Maka, pengakuan negara harus disertai dengan tindakan riil untuk menghentikan agresi, mengadili penjahat perang, dan menjamin hak-hak sah rakyat Palestina," ujar Pizaro.

Israel Masih Bebas Melakukan Genosida di Gaza

Baru-baru ini sejumlah negara seperti Inggris, Prancis, Kanada, Australia, Portugal dan lainnya baru-baru ini secara resmi mengakui keberadaan dan kedaulatan Negara Palestina. Namun, Israel masih terus melakukan genosida dan bebas melakukan penjajahan di Gaza, Palestina. 

Ustadz Fahmi mengatakan bahwa banyak warga Gaza menyambut pengakuan tersebut dengan skeptisisme. 

"Mereka (warga Gaza) melihat dunia mengakui Palestina, namun genosida dan kehancuran masih terus terjadi," kata Ustadz Fahmi.

Ustadz Fahmi menegaskan, apakah warga Palestina harus membayar harga semahal ini agar dunia mengakui mereka layak memiliki negara. Ini menunjukkan bahwa tanpa tindakan nyata, pengakuan politik saja tidak cukup untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan yang berlangsung di Gaza, Palestina.

Pengakuan Negara Palestina Jangan Hanya Simbolisme Tanpa Langkah Nyata

Pengakuan negara-negara Barat atas negara Palestina harus dibaca secara kritis agar tidak berhenti pada simbolisme politik belaka dan memberikan makna terhadap perjuangan bangsa Palestina. Meski demikian, Baitul Maqdis Institute juga mengapresiasi pengakuan resmi atas Negara Palestina yang dilakukan oleh sejumlah negara Eropa dan Barat. Langkah ini merupakan bentuk dukungan terhadap perjuangan rakyat Palestina yang telah lama mengalami penjajahan, apartheid, dan penindasan. 

"Meski demikian, pengakuan ini datang sangat terlambat. Rakyat Palestina telah mengalami penderitaan selama lebih dari satu abad dengan kehancuran besar-besaran yang terus berlangsung hingga hari ini, khususnya di Jalur Gaza," kata Ustadz Fahmi.

Ia menegaskan bahwa pengakuan yang terlambat dan dilakukan tanpa langkah nyata hanya akan menjadi hiburan sesaat yang kosong, jauh dari substansi penyelesaian masalah. 

Ustadz Fahmi menegaskan, Inggris, yang kini mengakui Palestina, perlu diingat merupakan pihak yang bertanggung jawab sebagai salah satu aktor utama dalam sejarah awal penjajahan atas Palestina melalui Deklarasi Balfour tahun 1917, yang secara sepihak menjanjikan tanah Palestina kepada gerakan Zionis. 

"Pengakuan yang baru diberikan 108 tahun kemudian (oleh Inggris) ini merupakan ironi sejarah yang menyakitkan bagi bangsa Palestina. Langkah ini tidak cukup jika tidak disertai dengan pertanggungjawaban moral dan politik atas peran historis Inggris dalam tragedi panjang yang menimpa rakyat Palestina," ujar Ustadz Fahmi.

Baitul Maqdis Institute menegaskan pengakuan Negara Palestina seharusnya dibarengi dengan langkah nyata dan tegas untuk memberikan sanksi berat bagi Israel yang sedang menjajah Palestina, yakni dengan penghentian penjualan senjata ke Israel, pemutusan kerja sama militer dan keamanan, pembekuan hubungan ekonomi dan politik dengan Israel, dan menyeret Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, Menteri Keamanan Itamar Ben-Gvir, Menteri Pertahanan Israel Katz, Kepala Militer Eyal Zamir, dan pejabat lainnya yang terlibat genosida ke pengadilan. 

"Tanpa langkah-langkah strategis tersebut, pengakuan ini hanya bersifat simbolik dan tidak berpengaruh terhadap nasib rakyat Palestina," ujarnya.

Baitul Maqdis Institute juga menegaskan bahwa faksi-faksi perlawanan di Palestina berhak untuk terus melawan genosida dan agresi brutal yang dilakukan Israel. Karena perlawanan bersenjata sebagai mekanisme pertahanan diri merupakan salah satu hak bangsa Palestina untuk bisa mempertahankan Tanah Air-nya, kedaulatannya, kebebasannya dari cengkeraman dan agresi Zionis Israel. Hak itu diakui oleh hukum internasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement