Senin 01 Sep 2025 01:44 WIB

Jatman DKI: Tasawuf Jantung Pergerakan Islam

Jatman DKI mendorong penguatan tasawuf dalam kehidupan sehari-hari.

Kegiatan Jatman DKI.
Foto: Erdy Nasrul/Republika
Kegiatan Jatman DKI.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jamiyyah Ahlith Thariqah al Mu’tabarah an Nahdliyyah (JATMAN) Idaroh Wustho DKI Jakarta menggelar kajian ilmu bertema “2 Abad Perang Diponegoro (1825-2025): Refleksi Sufi Melawan Kolonialisme” yang dilaksanakan di Ruang Serbaguna Perpustakaan Nasional RI, Jl Medan Merdeka Selatan, Gambir, Jakarta, hari Sabtu (30/08/2025) siang tadi.

Acara dibuka sejak pukul 10.00 WIB, yang dimulai dari pembacaan Al Quran dan dilanjutkan Sholawat Thariqiyyah. Sambutan diuraikan oleh KH Hilmy Ashidiqi yang merupakan Mursyid thariqah Qadiriyya Arrakiyya. Beliau mengapresiasi acara kajian ilmu yang dibuat JATMAN wustho DKI Jakarta sebagai sesuatu yang progresif.

Baca Juga

Kemudian diskusi dimulai dengan pemaparan dari KH Wahfiuddin Sakam, Mubaligh Nasional yang juga wakil talqin Thariqah Qadiriyya Naqsyabandiyya (TQN) Suryalaya. Ulama asli Betawi itu memaparkan bagaimana pentingnya kekuatan qalbu dan dzikir untuk menggapai kekuatan “Laillahaillallah.” Maka dari itu, katanya, thariqah menjadi jantung perlunya pengajaran tasawuf untuk menggapai ma’rifatullah.

“Thariqah harus bergerak dan peduli terhadap masalah sosial, jika tidak perduli terhadap masalah sosial, maka thariqah itu patut dipertanyakan,” paparnya. Pangeran Diponegoro, sambungnya, merupakan contoh nyata bagaimana amalan thariqah yang bergerak menegakkan keadilan.

“Thariqah harus egaliter, egaliter artinya kesetaraan, kesamaan, karena menghapuskan adanya system kasta, ketidakseimbangan, begitulah yang ditunjukkan Pangeran Diponegoro saat itu,” ujarnya.

Hal senada disampaikan Irawan Santoso Shiddiq, Mudir JATMAN DKI Jakarta. Dalam pemaparannya, beliau menegaskan bahwa sejarah tentang Perang Diponegoro kini banyak dikooptasi kaum sekuler.

“Sehingga nuansa kesufian dan bahwa perang Jawa adalah perangnya kaum sufi, itu banyak tak diulas oleh penulis soal Perang Diponegoro sekarang,” paparnya.

Padahal, Perang Jawa merupakan perang yang diinisiasi kaum sufi khususnya pengamal thariqah syatariyya yang kala itu berkembang pesat di Jawa dan Sumatera.

Disampaikannya, abad pertengahan adalah era kejayaan tasawuf yang merupakan kejayaan Islam. Seluruh Kesultanan Islam, sambungnya, merupakan produk dari tasawuf.

“Lihat bagaimana Kesultanan Demak didirikan oleh Wali Songo, tentu dengan pengajaran tasawuf,” tegasnya.

Begitu pula Kesultanan Utsmaniyya yang gagah perkasa. “Semua Sultan-Sultan Utsmaniyya, termasuk Sultan Al Fatih, itu adalah ahli thariqah dan mereka dibimbing oleh Mursyid,” tukasnya lagi.

Dia menguraikan, “Lepasnya Jerusalem dari kekuasaan Islam, adalah dengan jalan menghancurkan Daulah Utsmaniyya, didahului dengan memusuhi sufi dan memfitnah tasawuf, alhasil umat Islam dijauhkan dari tasawuf, maka Yahudi bisa merebut Jerusalem,” paparnya.

Perang Jawa, sambungnya, menjadi bukti bahwa tasawuf memang menjadi pergerakan Islam setiap saat. “Saatnya kaum sufi memahami kebesaran sejarahnya sendiri, dan bergerak untuk melanjutkan pergerakan yang telah dibangun Pangeran Diponegoro dan para ulama sufi era dulu,” paparnya.

Kolonialisme kini, ujarnya lagi, tentu dikooptasi kaum Yahudi yang menguasai system perbankan.

“Inilah kekuatan utama kuffar,” terangnya. “Maka kita harus menggabungkan Kembali mukasyafah dan muamalah, kini umat Islam lemah dalam muamalah, sementara thariqah sekarang hanya fokus pada muskasyafah tanpa muamalah,” tegasnya.

Dalam sesi Epilog, diisi oleh KH Muhammad Danial Nafis, Rois JATMAN DKI Jakarta yang juga mursyid thariqah Shidiqiyya Dharqawiyya Shadziliyya. Beliau memaparkan pentingnya kajian ilmu seperti ini agar wawasan ahli thariqah kini soal sejarah Islam makin terbuka lebar.

“Kalau membaca buku yang ditulis Peter Carey, beliau menyebutkan bahwa jika tidak ada perang Diponegoro, maka tidak lahir Nadhlatul Ulama,” ujarnya.

Menurutnya, kesufian Pangeran Diponegoro atau nama aslinya adalah Ontowiryo, hal yang tak terbantahkan. Beliau, ujarnya lagi, didampingi Kyai Mojo yang juga merupakan mursyid thariqah Syatariyya. “Peranan tasawuf sangat signifikan dalam perang tersebut, yang membuat Hindia Belanda kerepotan dan bangkrut,” tambahnya.

Tapi yang terpenting, sambungnya, bagaimana ahli thariqah kini memahami neokolonialisme. “Karena kolonialisme menjadi neokolim, yang menunjukkan bangsa ini masih terjajah, dan ini menjadi tugas utama kaum sufi,” tegasnya lagi.

“Tapi penjajahan kini bukan bersifat fisik seperti dulu, melainkan dalam system, ini yang memperbudak bangsa,” tambahnya lagi.

Beliau menegaskan bahwa sufi harus melek akan sejarah kebesaran tasawuf dan wajib mendalaminya. “Pengurus JATMAN Jakarta harus paham sejarah kebesaran tasawuf,” tukasnya lagi.

Acara kajian ilmu JATMAN DKI Jakarta ini diikuti oleh masyarakat dari berbagai kalangan. Tidak hanya dari anggota JATMAN belaka, tapi juga antusias datang dari masyarakat umum. “Dari acara ini saya ingin memperdalam lagi tentang tasawuf dan mengikuti tarekat,” ujar Rusydi, salah seorang peserta yang hadir.

Irawan Shiddiq menegaskan, JATMAN DKI Jakarta akan terus menggelar mudzakarah seperti ini demi kembalinya kejayaan tasawuf. “Kejayaan tasawuf berarti kejayaan Islam. Tanpa tasawuf, umat menjadi lemah,” tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement