Rabu 20 Aug 2025 15:24 WIB

Keberkahan Ilmu, Apa Saja Faktornya?

Ilmu yang berkah ditentukan oleh sikap penuntut ilmu.

ILUSTRASI Santri mengaji
Foto: ANTARA FOTO/Syaiful Arif
ILUSTRASI Santri mengaji

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap orang memiliki tujuan masing-masing dalam mempelajari ilmu. Sebagian ada yang belajar hanya untuk tujuan-tujuan pragmatis dalam jangka pendek.

Namun sebagian yang lain menjadikannya untuk bekal kehidupan dunia dan akhirat. Terlepas dari itu, yang penting dalam menuntut ilmu adalah mendapatkan keberkahannya.

Baca Juga

Kata berkah berasal dari bahasa Arab, barakah, yang maknanya menurut Imam al-Ghazali adalah ziyadah al-khair, yakni bertambahnya nilai kebaikan.

Ilmu yang berkah adalah ilmu yang memberikan nilai kemanfaatan dan kebaikan di dalamnya. Salah satu tandanya, ilmu tersebut diamalkan dan bermanfaat untuk dirinya dan orang lain serta mendatangkan kebaikan.

Oleh karena pentingnya keberkahan ilmu tersebut, Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Ayyuha al-Walad, menasihatkan untuk para penuntut ilmu, "Meskipun engkau menuntut ilmu 100 tahun, dan mengumpulkan (menghafalkan) 1.000 kitab, engkau tidak akan bersiap sedia mendapatkan rahmat Allah kecuali dengan mengamalkannya. Sebagaimana firman Allah dalam Alquran (QS al-Najm: 39, al-Kahf: 110, dan 107-108, al-Taubah: 82, al-Furqan: 70)."

Keberkahan ilmu harus dimulai dengan niat yang lurus dan benar. Imam az-Zarnuji mengatakan, selayaknya seorang penuntut ilmu meniatkannya untuk mencari keridhaan Allah SWT, mencari kehidupan akhirat, menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri dan orang-orang bodoh, menghidupkan agama dan melanggengkan Islam. Sebab, kelanggengan Islam itu harus dengan ilmu, dan tidak sah kezuhudan dan ketakwaan yang didasari atas kebodohan.

Selain niat, keberkahan ilmu ditentukan oleh sikap penuntut ilmu dan orang tuanya terhadap ilmu dan orang yang mengajarkan ilmu tersebut, yaitu guru.

Az-Zarnuji mengatakan, "Ketahuilah, seorang murid tidak akan memperoleh ilmu dan tidak akan dapat ilmu yang bermanfaat kecuali ia mau mengagungkan ilmu, ahli ilmu, dan menghormati keagungan guru."

Dalam tradisi keilmuan Islam, penghormatan (ta’dzim) terhadap ustaz atau guru benar-benar telah dipraktikkan. Dan ini menjadi kunci kejayaan peradaban Islam.

Hal ini bisa kita lihat dari contoh yang telah ditunjukkan oleh orang-orang mulia. Misalnya, sahabat Ali bin Abi Thalib, yang oleh Rasulullah SAW disebutkan sebagai bab al ‘ilmi atau pintu ilmu. Beliau mengatakan, "Saya menjadi hamba sahaya orang yang telah mengajariku satu huruf. Terserah padanya, saya mau dijual, dimerdekakan, ataupun tetap menjadi hambanya."

photo
Santri (ilustrasi) - (Dok Republika)

sumber : Hikmah Republika oleh Muhammad Rajab
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement