REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pegiat Umroh Mandiri, Eaz Eryanda menanggapi penolakan 13 asosiasi penyelenggara haji dan umrah terhadap rencana legalisasi umroh mandiri dalam Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Haji dan Umrah (RUU PIHU).
Menurut dia, praktik umroh mandiri di lapangan selama ini tetap berjalan. Regulasi justru dibutuhkan agar lebih tertata dan memberikan kepastian hukum.
“Umroh mandiri masih terus berjalan. Kalau bisa dimasukkan ke RUU, harapannya dirapikan prosedurnya agar lebih jelas dan sah,” kata Eaz saat dihubungi Republika di Jakarta, Selasa (19/8/2025).
Ia menilai, problematika umroh seperti jamaah terlantar, hotel tidak sesuai, maupun kasus overstay bukan hanya terjadi pada jamaah umroh mandiri, tetapi juga dialami jamaah yang berangkat melalui travel resmi. Karena itu, ia menekankan perlunya regulasi agar semua pihak, baik travel maupun jamaah mandiri, memiliki standar perlindungan yang sama.
“Di Saudi sendiri sebenarnya sudah rapi. Jamaah yang pakai visa umroh wajib punya transportasi resmi dan jika ada masalah kesehatan langsung ditangani, bahkan dijemput ambulans. Jadi kalau diatur di Indonesia, akan lebih baik lagi,” ujar dia.
Terkait alasan penolakan asosiasi soal bimbingan ibadah, Eaz menilai hal tersebut bisa diatasi dengan memanfaatkan teknologi digital. Menurut dia, banyak panduan umroh yang sudah tersedia secara daring, baik berupa teks maupun audiovisual.