REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV— Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memutuskan terus berperang di Jalur Gaza meskipun ada tekanan dari dalam dan luar negeri untuk menghentikan agresi di Jalur Gaza.
Netanyahu mengabaikan seruan berulang kali untuk menghentikan agresi, dan bersembunyi di balik koalisi politik yang rapuh.
Dia mengaitkan kepentingan pribadinya dengan dukungan mutlak dari Amerika Serikat, dalam sebuah adegan yang mencerminkan kelumpuhan yang disengaja.
Seiring dengan meningkatnya pernyataan-pernyataan mengenai perluasan operasi militer, Saluran 14 Ibrani mengungkapkan Netanyahu sekali lagi mempertimbangkan opsi untuk menduduki Gaza.
Opsi ini dimunculkan meskipun ada tentangan dari pihak militer dan kekhawatiran bahwa Kepala Staf Eyal Zamir akan mengundurkan diri jika pendekatan ini diterapkan.
Perpecahan di dalam tubuh militer diungkapkan oleh para pejabat senior, yang dipimpin oleh mantan kepala operasi militer Yisrael Ziv.
BACA JUGA: Reaksi Keras Sikapi Pemblokiran Rekening oleh PPATK, Mahfud: Jahat Itu, Terlalu Jahat
Mereka menekankan pemerintah tidak berusaha untuk mencapai tujuan-tujuan perang, melainkan hanya ingin melanggengkannya.
Meskipun pelanggengan ini terdiri dari menjual ilusi kepada warga Israel tanpa mengalahkan Hamas atau mengambil kembali para sandera.
Netanyahu tampaknya menggunakan dilema sandera sebagai kartu politik, bukan untuk menyelesaikannya tetapi untuk menyalahkan sikap keras kepala Hamas.