REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang mengkritik pengelolaan dana haji. Menurut dia, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) sebagai lembaga yang bertugas mengelola dana haji masyarakat, selama ini terlalu berhati-hati dalam berinvestasi.
Lebih lanjut, Marwan menilai, BPKH cenderung hanya menempatkan investasi di Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Akibatnya, hasil investasi tidak maksimal sehingga beban biaya haji semakin berat bagi calon jamaah haji.
“Dulu, waktu dana masih dipegang Kementerian Agama (Kemenag RI), hasilnya sama saja—sekitar 6,5 persen. Jarang sekali bisa mencapai 8 persen. Mengapa? Karena, penempatannya hanya di surat berharga syariah (SBSN) yang hanya menghasilkan sekitar 7 persen selama 5 tahun,” ujar Marwan dalam diskusi bertajuk "Public Awareness: Pengelolaan Dana Haji Berkeadilan di Investasi Surat Berharga BPKH" di kampus Universitas Paramadina, Jakarta, Jumat (1/8/2025).
Ia menjelaskan, dari dana kelolaan sebesar Rp171 triliun, BPKH menargetkan pendapatan Rp12 triliun pada tahun 2025. Namun, sambung politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu, realisasinya hanya Rp11,4 triliun.
“Apakah angka Rp 11,4 triliun itu cukup untuk pembiayaan haji? Cukup. Tapi, karena beban jamaah sudah kita tambah, maka sistemnya begini: misalnya, biaya haji Rp 100 juta, maka Rp 62 juta dibebankan ke jamaah. Sisanya, Rp 38 juta disubsidi dari hasil kelolaan BPKH,” kata dia memaparkan.
Menurut Marwan, masyarakat selama ini tidak tahu, sebagian besar biaya haji mereka berasal dari subsidi hasil kelolaan dana yang kurang optimal. Bila keadaan tersebut dibiarkan seperti ini, lama-kelamaan bisa terjadi defisit.
“Kalau terus-menerus defisit, ini bahaya,” ujar legislator Komisi VIII DPR RI itu.
View this post on Instagram
Jangan 'main aman'
Marwan juga menyoroti pembatasan investasi langsung yang dianggap membuat BPKH bermain aman. Hal itu dikaitkan dengan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji yang menjadi dasar pendirian BPKH.
“BPKH selalu beralasan, ‘Kami dibatasi oleh Pasal 53.’ Pasal itu berbicara soal tanggung renteng. Jadi, kalau ada kerugian di satu titik investasi, BPKH harus menanggung semuanya,” ujar Marwan.
Padahal, lanjut dia, Pasal 59 UU Nomor 34/2014 menyebutkan, jika kerugian bukan lantaran kesalahan pengelolaan, maka tidak perlu diganti.
“Ini tidak pernah dibahas. Kita ingin BPKH bisa menghasilkan minimal 10 persen. Kalau dana kelolaan Rp 171 triliun, 10 persen berarti 17 triliun,” kata Marwan menegaskan.
Selain itu, ia juga mengusulkan pengembangan investasi langsung yang lebih agresif. Misalnya, investasi kepemilikan hotel di Arab Saudi untuk akomodasi jamaah haji dan umrah Indonesia. Menurut dia, penanaman modal demikian lebih baik bila dibandingkan dengan sekadar SBSN.
“Kalau dikelola dengan benar, hasilnya bisa sampai 12 persen,” ujarnya.