REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Peneliti Lembaga Riset Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Muhammad Anwar mengatakan, fenomena Rombongan Jarang Beli (Rojali) bukanlah sekadar tren viral di media sosial atau perubahan pola konsumsi masyarakat urban. Rojali dinilai menjadi cerminan nyata dari kian parahnya tekanan ekonomi yang dialami masyarakat, khususnya di kelas menengah ke bawah dan kelompok rentan.
"Kita menyaksikan pusat-pusat perbelanjaan yang tampak ramai pengunjung, namun aktivitas transaksi merosot tajam, ini bukan tanda gaya hidup yang berubah, melainkan indikasi bahwa masyarakat ingin belanja tapi tidak mampu," kata Anwar kepada Republika, Jumat (1/8/2025)
Anwar menyampaikan, pada tahun lalu, masih ada gejala lipstick effect di mana masyarakat masih bisa berbelanja meski hanya untuk barang-barang kecil, terjangkau atau bersifat hiburan. Hal tersebut menunjukkan masih adanya ruang untuk konsumsi sekunder meski terbatas.
Namun, fenomena 'Rojali' yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa ruang itu pun telah hilang. Masyarakat bahkan tak lagi melakukan substitusi barang untuk membeli barang yang lebih murah. Mereka benar-benar tidak melakukan transaksi.
"Saat ini masyarakat memilih untuk mengalokasikan uangnya kepada kebutuhan pokok seperti makanan, transportasi, dan biaya hidup harian. Artinya, ini bukan lagi soal menyesuaikan gaya belanja, tetapi soal prioritas kebutuhan hidup," jelasnya.
IDEAS mengungkapkan bahwa masalah utama bukan hanya inflasi yang tidak terkendali, tapi kombinasi dari kenaikan harga kebutuhan pokok yang terus merangkak naik dan stagnasi pendapatan riil.
