REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Penyelenggara (BP) Haji M Irfan Yusuf Hasyim memandang, revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah penting diselesaikan dengan optimal. Hal itu agar lembaga yang mulai menyelenggarakan haji RI pada 1447 M/2026 M itu bisa bekerja secara penuh dan sah.
Tanpa revisi itu, lanjut dia, BP Haji belum dapat melangkah lebih jauh. Alasannya, UU yang ada kini masih menyebut penyelenggara haji sebagai "kementerian."
"Mengapa revisi ini penting? Karena dalam UU Haji Nomor 8 Tahun 2019 masih disebutkan penyelenggara haji adalah kementerian. Itu diartikan sebagai Kementerian Agama," ujar sosok yang akrab disapa Gus Irfan itu kepada Republika di Jakarta, Selasa (29/7/2025).
Ia menekankan, kejelasan kewenangan menjadi soal yang penting. Bagaimanapun, lanjut Gus Irfan, pihaknya tidak terlalu mempermasalahkan, apakah BP Haji akan berstatus kementerian atau tidak.
Selama BP Haji secara legal diberi mandat sebagai pelaksana teknis penyelenggaraan haji, ia mengaku akan terus bekerja memimpin lembaga ini dengan penuh tanggung jawab. Kalaupun nanti BP Haji menjadi Kementerian Haji dan Umrah, Gus Irfan memandang hal itu akan memudahkan tugas, pokok dan fungsi lembaga ini.
"Kita berharap bahwa wewenang pelaksanaannya (penyelenggaraan haji) adalah kami, sehingga kami bisa segera berjalan. Lebih baik lagi jika nanti (BP Haji) akan menjadi kementerian," ucap dia.
Menurutnya, ada aspirasi dari sejumlah fraksi di DPR RI agar BP Haji ditingkatkan menjadi sebuah kementerian. Tujuannya agar posisi lembaga ini setara dalam hal komunikasi dan negosiasi internasional, khususnya dengan Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi.
"Memang suasana yang berkembang di teman-teman, di beberapa fraksi mengusulkan agar BP Haji sekalian jadi kementerian saja, supaya mereka lebih apple to apple dengan teman-teman di Saudi," kata Gus Irfan.
Dapat limpahan ASN Kemenag?