REPUBLIKA.CO.ID, CIPUTAT -- Momentum Idul Adha, harus menjadi spirit dalam mempererat ukhuwah dan kesalehan sosial. Itulah yang disampaikan Ketua Umum Yayasan Sinergi Harmoni Indonesia, Dr. Ismail saat menjadi khatib Jumat di Masjid AlnIrfan, Perumahan Dosen Universitas Indonesia (UI) Ciputat, Jumat (6/6/2025).
Dalam khutbahnya, Ismail mengingatkan seluruh jamaah agar selalu bertakwa kepada Allah SWT. "Sebaik-baik bekal adalah bekal takwa," ujarnya.
Mengutip ayat 197 Surat Al Baqarah, Staf pengajar UMJ ini menyampaikan, dengan bertakwa maka manusia akan mengarungi kehidupan di dunia dan akhirat dengan sukses.
Ia menambahkan, Idul Adha bukan sekadar momen perayaan, tetapi juga merupakan refleksi nilai-nilai keimanan, ketaatan, pengorbanan, dan kesalehan sosial. "Idul Adha hadir sebagai tonggak spiritual untuk memperkuat keikhlasan kepada Allah dan juga mempererat hubungan sosial di antara manusia.
Disebutkannya, ada tiga dimensi utama manusia dalam memperkuat keikhlasan kepada Allah, sekaligus mempererat hubungan sosial dengan sesama manusia.
"Pertama, Hakikat Idul Adha dan kurban sebagai bentuk ketaatan dan rasa syukur. Kedua, Spirit ukhuwah: Islamiyah, basyariyah, dan wathaniyah, ujarnya.
Sedangkan dimensi yang ketiga, Relevansi dalam membangun bangsa dalam masyarakat yang majemuk. "Hakikat Idul Adha dan semangat pengorbanan adalah peringatan terhadap peristiwa monumental dalam sejarah keimanan, yaitu ketaatan luar biasa dari Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS," jelasnya.
Ketiga dimensi di atas, kata Ismail, menjadikan Idul Adha sebagai hari raya yang tidak hanya bermakna seremonial penyembelihan hewan kurban, tetapi juga momentum spiritual yang agung untuk meningkatkan ketaatan, pengorbanan, dan kesalehan sosial.
Dalam surat As-Saffat ayat 102, kata dia, mengandung dialog Nabi Ibrahim dan Ismail ketika akan disembelih. "Dalam ayat tersebut telah terjadi dialog yang menggambarkan dua hal penting: Pertama, Ketaatan absolut Nabi Ibrahim terhadap perintah Allah, bahkan ketika perintah itu menyentuh sisi terberat dalam hidup, yaitu mengorbankan anak tercinta.
"Yang kedua, Keteguhan dan kerelaan Nabi Ismail untuk dikorbankan, menunjukkan kematangan iman seorang anak yang siap mendukung perjuangan orang tuanya dalam menjalankan wahyu," paparnya.
Puncak Ketaatan
Dalam khutbahnya, Ismail juga menyampaikan tentang makna Kurban. Menurutnya, Idul Adha mengajarkan kita bahwa kurban bukanlah soal menyembelih hewan semata. Ia adalah ritual simbolik dari penyembelihan ego, hawa nafsu, kesombongan, dan individualisme.
"Idul Adha juga mengajarkan bahwa ketaatan kepada Allah adalah puncak dari segala bentuk penghambaan, dan bahwa hidup yang bernilai adalah hidup yang diwarnai dengan pengorbanan dan rasa syukur," tegasnya.
Mengutip QS. Al-Hajj ayat 37, hakikat kurban adalah ketakwaan kepada Allah SWT. "Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik." (Q.S. Al-Hajj, (22): 37)
Mempererat Ukhuwah
Ismail menjelaskan, dalam kurban atau Idul Adha, juga terkandung pilar sosial atau ukhuwah, baik pada Allah maupun dengan seaama manusia.
"Dalam konteks ini, kita mengenal tiga jenis ukhuwah yang penting untuk dikembangkan dalam kehidupan sosial," ujarnya.
Pertama, Ukhuwwah Islamiyah adalah persaudaraan antar sesama muslim. Idul Adha menjadi wadah menyatukan umat Islam dari berbagai penjuru dunia dalam ibadah haji dan ibadah kurban. Persatuan umat Islam merupakan syarat utama tegaknya kekuatan umat.
Mengutip hadits Nabi Muhammad SAW, “Seorang mukmin terhadap mukmin yang lain seperti bangunan yang saling menguatkan satu sama lain.” (HR. Bukhari dan Muslim).
"Jangan karena perbedaan mazhab, lalu kita mwnjadi fanatik pada kelompok yang berbeda," singgungnya.
"Momentum Idul Adha mengajarkan kita untuk mengutamakan yang pokok daripada yang cabang, dan menjaga adab dalam perbedaan."
Ukhuwwah yang Kedua, Ukhuwwah Basyariyah adalah persaudaraan universal antar sesama manusia, tanpa membedakan agama, ras, suku, dan bangsa, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Hujurat ayat 13, yang intinya, orang yang mulia itu adalah ketakwaannya, tanpa membedakan latar belakang, adat istiadat, pendidikan, suku, dan lain sebagainya.
Kemudian jenis ukhuwwah yang ketiga, lanjut Ismail adalah Ukhuwah Wathaniyah adalah persaudaraan dalam satu bangsa dan tanah air. "Kita semua bersaudara di rumah yang besar dan rumah yang sama dari Sabang sampai Merauke. Kita tinggal di rumah NKRI yang terdiri dari saudara yang berbeda suku, agama, ras dan antar golongan. Perbedaaan ini menjadi sebuah kekuatan menuju Indonesia damai dan maju. Cinta tanah air adalah bagian dari iman, karena di situlah syariat Islam ditegakkan dan keadilan sosial diperjuangkan."
Dalam konteks Indonesia, kata dia, ukhuwah wathaniyah sangat penting karena kita hidup dalam masyarakat yang plural dan majemuk. Keutuhan NKRI hanya bisa terjaga jika setiap warga negara memiliki semangat persatuan, saling menghormati, dan menghindari konflik horizontal atas dasar SARA.
Karena itu, melalui momentum Idul Adha, kata Ismail, nilai-nilai perjuangan dan pengorbanan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, sangat relevan untuk mengatasi tantangan sosial, politik, dan kemanusiaan di Indonesia.
"Semoga negeri kita senantiasa dirahmati Allah SWT," ungkapnya.