Selasa 13 May 2025 22:14 WIB

LBH PP Muhammadiyah Dukung Kejagung Usut Dugaan Suap dalam Kasus Pagar Laut  

Kejagung telah bertindak tepat dengan memberikan petunjuk kepada penyidik.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
Foto udara alat berat escavator digunakan untuk membongkar pagar laut di pesisir laut Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (11/2/2025). Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan pembongkaran pagar laut sepanjang 3,3 Km dilakukan secara mandiri oleh PT TRPN  yang merupakan bagian dari tindak lanjut sanksi administratif atas pelanggaran pemanfaatan ruang laut dan reklamasi tanpa izin.
Foto: ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah
Foto udara alat berat escavator digunakan untuk membongkar pagar laut di pesisir laut Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (11/2/2025). Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan pembongkaran pagar laut sepanjang 3,3 Km dilakukan secara mandiri oleh PT TRPN yang merupakan bagian dari tindak lanjut sanksi administratif atas pelanggaran pemanfaatan ruang laut dan reklamasi tanpa izin.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBH AP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah mendukung langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk mengusut aspek dugaan suap dan gratifikasi dalam kasus pagar laut yang saat ini tengah ditangani Bareskrim Polri.

Sekretaris LBH AP PP Muhammadiyah, Ikhwan Fahrojih, menyatakan bahwa Kejagung telah bertindak tepat dengan memberikan petunjuk kepada penyidik Polri agar menerapkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam kasus tersebut.

Baca Juga

“Saya setuju dan mendukung Kejagung. Laut yang disertifikatkan dengan cara melawan hukum dan/atau menyalahgunakan wewenang adalah bagian dari kekayaan negara. Maka tindakan itu jelas merugikan keuangan negara dan harus ditindak dengan UU Tipikor,” ujar Ikhwan kepada Republika.co.id di Jakarta, Selasa (13/5/2025).

Dia menjelaskan, kekayaan negara terdiri dari dua bentuk, yakni barang milik negara dan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kekayaan sumber daya alam (SDA) yang dikuasai oleh negara. Dalam konteks ini, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan sudah menegaskan bahwa negara memiliki kewenangan atas wilayah laut.

Ikhwan menekankan, dalam proses hukum petunjuk dari jaksa penuntut umum (JPU) bersifat wajib dijalankan oleh penyidik, sebagaimana diatur dalam Pasal 110 Ayat (3) KUHAP. Karena itu, menurut dia, Bareskrim seharusnya mengikuti arahan kejaksaan.

“Jika penyidik tetap bersikukuh tidak mengikuti petunjuk jaksa, maka seharusnya penyidik membuka ruang bagi jaksa untuk melakukan pemeriksaan tambahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 Ayat (1) huruf e UU Kejaksaan,” ucap dia.

Dia juga menyoroti bahwa perbedaan pandangan antara jaksa dan polisi dalam kasus ini bisa menimbulkan kebuntuan yang berbahaya. Apalagi kasus pagar laut ini dinilainya sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) karena menyangkut penguasaan aset negara secara melawan hukum.

“Perbedaan ini masalah serius dalam penegakan hukum kita. Presiden Prabowo harus turun tangan memberi arahan tegas kepada kedua institusi di bawahnya ini. Apalagi beliau menjadikan pemberantasan korupsi sebagai prioritas utama,” kata Ikhwan.

Dia menambahkan, masyarakat sangat tidak puas jika kasus ini hanya dilihat dari kacamata pemalsuan dokumen semata, sebagaimana pendekatan yang selama ini diambil oleh Polri.

“Masyarakat mempertanyakan, kenapa kepolisian tidak membuka ruang ke arah dugaan korupsinya? Padahal ini menyangkut kekayaan negara,” jelas dia.

Kendati demikian, Ikhwan meyakini perbedaan pendekatan hukum antara polisi dan jaksa tidak akan mengganggu hubungan kelembagaan keduanya secara struktural.

“Ini hanya soal kasuistik. Tapi yang harus diingat, kepercayaan publik dipertaruhkan dalam penanganan kasus ini. Jangan sampai publik melihat aparat penegak hukum justru tidak bersungguh-sungguh dalam membela kepentingan negara,” ujar Ikhwan.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement