REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Intonasi suara sering kali memiliki makna tersendiri dibandingkan ucapan. Etika umumnya, seseorang akan menggunakan intonasi yang pelan ketika berbicara dengan orang yang lebih dimuliakan, seperti pemimpin atau ulama. Orang-orang cenderung "bebas" memakai intonasi suara saat bercengkerama dengan kawan sebayanya.
Persoalan intonasi suara juga disinggung dalam Alquran, yakni surah al-Hujuraat ayat kedua. Asbabun nuzul ayat itu sehubungan dengan adanya orang yang menggunakan intonasi suara keras bahkan saat berbicara dengan Rasulullah SAW.
يٰۤاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا لَا تَرۡفَعُوۡۤا اَصۡوَاتَكُمۡ فَوۡقَ صَوۡتِ النَّبِىِّ وَلَا تَجۡهَرُوۡا لَهٗ بِالۡقَوۡلِ كَجَهۡرِ بَعۡضِكُمۡ لِبَعۡضٍ اَنۡ تَحۡبَطَ اَعۡمَالُكُمۡ وَاَنۡـتُمۡ لَا تَشۡعُرُوۡنَ
Arti ayat itu: "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedangkan kamu tidak menyadari."
Seperti diriwayatkan Ibnu Jarir dari Qatadah, diceritakan sebagai berikut. Di antara para sahabat Nabi SAW, ada yang mengeraskan suara saat berbicara dengan Rasulullah SAW. Allah SWT lalu menurunkan ayat ini (QS al-Hujuraat ayat 2).
Pada suatu ketika, seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Tsabit bin Qais tampak duduk di tengah jalan. Ia bukan hanya kelihatan bingung dan gundah. Bahkan kemudian dirinya terisak-isak dan menangis tersedu-sedan.
View this post on Instagram
Tidak lama berselang, Ashim bin Uday bin Ajlan lewat di hadapannya. Ashim lalu bertanya, “Mengapa engkau menangis?"
Tsabit menjawab, "Karena ayat ini (al-Hujuraat ayat 2 -Red). Saya sangat takut jika ayat ini turun berkenaan dengan saya. Sebab, saya adalah orang yang bersuara keras saat berbicara."