Kamis 10 Apr 2025 14:11 WIB

Ketika Imam Syafi'i Tetap Merasa Bodoh

Imam Syafi'i dengan ilmu yang dimilikinya tetap rendah hati.

ILUSTRASI Imam Syafii
Foto: republika
ILUSTRASI Imam Syafii

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam sejarah peradaban Islam, Imam Syafii merupakan salah seorang tokoh yang berpengaruh besar. Pemilik nama lengkap Muhammad bin Idris bin 'Abbas bin 'Usman bin Syaafi' itu mendirikan salah satu mazhab fikih ahlussunnah waljama’ah. Fatwa dan pemikirannya diikuti banyak kaum Muslimin di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Sejak kecil, ia tumbuh dalam lingkungan yang mengutamakan ilmu-ilmu agama. Perjalanannya dalam menuntut ilmu dimulai dari belajar membaca, menulis, dan menghafal Alquran. Alhasil, saat usianya masih tujuh tahun, Imam Syafi'i telah menyelesaikan hafalan 30 juz dengan lancar.

Baca Juga

Setelah menjadi hafiz, lelaki kelahiran Gaza, Palestina, tersebut meneruskan rihlah keilmuannya dengan menghafal berbagai macam syair Arab dan kitab Al-Muwattha' karangan Imam Malik. Ketika menetap di Makkah, ia berguru kepada Sufian bin 'Uyainah, salah seorang ahli hadis terkemuka dari generasi tabiit tabiin. Imam Syafi'i memuji keduanya, “Kalau bukan karena Imam Malik dan Sufian bin 'Uyainah, maka akan hilanglah ilmu di Hijaz.”

Imam Syafi'i selalu sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Berbagai rintangan dihadapinya untuk mendapatkan ilmu-ilmu agama. Bahkan, ia kerap hidup serba kekurangan dan penuh penderitaan.

Diriwayatkan, karena kemiskinan dan ketidakmampuannya membeli buku, ia terpaksa mengumpulkan kertas bekas atau tulang belulang untuk mencatat pelajaran. Minatnya terhadap ilmu peengetahuan terutama fikih mulai tampak setelah ia membaca kitab Al-Muwatta' karangan Imam Malik.

Ia pun berguru dan belajar dengan pendiri mazhab Maliki ini, hingga dirinya menjadi salah seorang murid kesayangan sang Imam.

Setelah belajar dengan Imam Maliki, dahaga ilmunya yang teramat sangat, ia kemudian pergi ke Irak (Baghdad) untuk belajar kepada Imam Abu Yusuf dan Imam MUhammad bin Hasan.

Dari kedua Imam ini, Syafi'i mempelajari cara-cara hakim memeriksa dan memutuskan perkara, cara memberi fatwa, cara menjatuhkan hukuman, serta berbagai metode yang diterapkan oleh para mufti di Irak.

Namun demikian, Syafi'i tetap belum merasa puas akan ilmu yang telah diperolehnya. Dalam suatu riwayat disebutkan, ia masih merasa sebagai orang yang paling bodoh. "Bila aku mendapatkan satu ilmu baru, maka hal itu menunjukkan betapa bodohnya diriku."

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement