Rabu 09 Apr 2025 14:31 WIB

Kisah Pemuda Madinah Amat Menyesali Dosanya

Inilah kisah Tsa'labah yang takut akan akibat dari perbuatannya.

Ilustrasi Sahabat Nabi.
Foto: Republika
Ilustrasi Sahabat Nabi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada suatu hari, Rasulullah SAW menugaskan seorang sahabatnya, Tsa'labah bin Abdurrahman, untuk sebuah urusan. Tugas itu dilaksanakan remaja Anshar tersebut dengan penuh semangat. Dalam perjalanan pulang, ia melewati rumah seorang warga Madinah.

Tanpa sengaja, dia sekilas melihat pemandangan seorang wanita sedang mandi. Perempuan itu tidak mengenakan kain sehelai pun. Tata letak dan bangunan rumah-rumah umumnya di Madinah kala itu memang amat sederhana. Karena itu, sangat mungkin bila isi rumah tampak dari luar.

Baca Juga

Kejadian itu amat mengguncang diri Tsa’labah. Sebagai seorang remaja, peristiwa tersebut sama sekali tidak membuatnya senang. Ia justru resah dan takut luar biasa.

Dalam benaknya terbayang, betapa berdosa dirinya walaupun matanya tidak sengaja menatap tubuh telanjang perempuan tersebut. Yang sangat ditakutkannya ialah, wahyu akan turun kepada Rasulullah SAW karena perbuatan sahabat beliau ini.

Tanpa berpikir panjang, Tsa’labah memutuskan untuk kabur dari Madinah. Bukannya melapor kepada Nabi SAW sesudah tugasnya selesai, ia memilih sembunyi di perbukitan yang terletak antara rute Madinah-Makkah. Di sebuah gua, ia merenungi nasib dan sangat menyesali perbuatannya itu.

Lebih dari sebulan ia "menghilang." Tepat pada hari ke-40 sejak kepergian Tsa’labah, Malaikat Jibril turun kepada Nabi SAW. Darinya, Rasulullah SAW menerima kabar tentang apa yang terjadi pada sahabatnya itu.

“Wahai Muhammad! Sesungguhnya Tuhanmu menyampaikan salam untukmu dan berfirman kepadamu, ‘Sesungguhnya seorang laki-laki dari umatmu berada di gunung ini sedang memohon perlindungan kepada-Ku',” ungkap sang malaikat.

Sesudah itu, Nabi SAW memerintahkan Umar bin Khattab dan Salman al-Farisi pergi ke bukit tempat Tsa’labah bersebunyi. Keduanya ditugaskan untuk membujuk sang pemuda agar bersedia kembali ke Madinah. Dalam perjalanan, mereka berpapasan dengan seorang pengembala yang bernama Dzufafah.

“Wahai hamba Allah, kami sedang mencari kawan kami yang bernama Tsa’labah. Kabarnya, ia dalam beberapa pekan tinggal di bukit ini. Apakah engkau pernah bertemu dengannya?” tanya Umar.

“Jangan-jangan yang engkau maksud ialah pemuda yang lari karena takut akan neraka jahanam?” kata Dzufafah.

“Mengapa kau sebut begitu?” selidik Umar lagi.

Dzufafah pun menjelaskan, pemuda yang dimaksud selalu keluar pada malam hari. Orang-orang kerap melihatnya sedang berjalan sambil meletakkan tangan di atas kepalanya.

Sahabat Nabi SAW itu juga terus mengulang-ulang munajat, “Wahai Rabbku! Mengapa engkau tidak cabut saja nyawaku dan binasakan tubuhku, dan tidak membiarkan aku menanti keputusan?”

Yakinlah Umar dan Salman bahwa ciri-ciri yang disebutkan sang pengembala sesuai dengan Tsa’labah. Akhirnya, keduanya lekas mencarinya bersama-sama.

Sesudah matahari terbenam, benar saja, Tsa’labah kembali muncul dengan kebiasannya, seperti dijelaskan oleh Dzufafah tadi siang.

Diam-diam, Umar mendekati lantas memeluknya. Begitu menyadari siapa sosok yang memegangnya, pemuda itu bertanya, “Wahai Umar! Apakah Rasulullah SAW telah mengetahui perkaraku?”

Umar tidak mengerti apa yang ditanyakannya itu. Yang jelas, Nabi SAW sudah lama menanti kedatangannya. “Kemarin beliau menyebut-nyebut namamu, lalu mengutusku dan Salman untuk mencarimu,” kata al-Faruq menerangkan.

Tsa'labah bersedia pulang, asalkan ia diperbolehkan menghadap Rasul SAW sendirian. Umar dan Salman mengiyakan.

Sesudah perjalanan, sampailah mereka di Madinah keesokan harinya. Usai shalat subuh, Tsa’labah pun dipertemukan dengan Nabi SAW.

“Mengapa engkau menghilang dariku?” tanya Rasulullah SAW.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement