Ahad 30 Mar 2025 16:22 WIB

Sejarah Tradisi Takbiran: Ada Sejak Abad 15, Jadi Simbol Perlawanan di Era Penjajahan

Berbagai daerah Indonesia memiliki tradisi takbiran yang unik.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Sejumlah anak mengikuti pawai obor saat malam takbiran keliling (ilustrasi). sejarah tradisi takbiran di Nusantara sudah ada sejak masa kesultanan Islam, tepatnya adab 15-18 Masehi.
Foto: ANTARA FOTO/Andry Denisah
Sejumlah anak mengikuti pawai obor saat malam takbiran keliling (ilustrasi). sejarah tradisi takbiran di Nusantara sudah ada sejak masa kesultanan Islam, tepatnya adab 15-18 Masehi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Malam takbiran menjadi momen istimewa bagi umat Islam. Gema takbir yang berkumandang dari masjid menandai kemenangan setelah sebulan puasa. Di Indonesia, takbiran bukan sekadar ritual ibadah, melainkan warisan budaya Islam yang kaya dengan nilai-nilai kearifan lokal.

Pakar budaya Islam Universitas Airlangga, Ahmad Syauqi, mengatakan sejarah tradisi takbiran di Nusantara sudah ada sejak masa kesultanan Islam, tepatnya abad 15-18 Masehi. “Era kedua yaitu kolonial, sekitar abad 19-20 Masehi pada zaman belanda yang dilaksanakan dengan kondisi yang terbatas. Takbiran juga sering kali menjadi bentuk perlawanan simbolis era penjajahan,” kata Ahmad dalam keterangan tertulis, Ahad (30/3/2025).

Baca Juga

Menurut dia, berbagai daerah Indonesia memiliki tradisi takbiran yang unik yang memadukan antara elemen budaya dan Islam. Misalnya di Yogyakarta dan Solo biasanya digelar takbir keliling, lalu di Aceh ada tradisi Tellasan Topa, masyarakat Minangkabau mengadakan takbiran Bararak.

Tidak hanya itu di Bugis-Makassar, terdapat tradisi Mappadendang yang diiringi bunyi tabuhan lesung sebagai simbol rasa syukur. “Masyarakat di Nusantara sangat inklusif, tidak hanya menghargai ajaran Islam, tetapi juga merangkul kebudayaan lokal. Keterlibatan masyarakat dari seluruh lapisan masyarakat baik di kota maupun di pelosok, jadi tidak ada perbedaan,” kata dia.

Ia juga mengingatkan bahwa malam takbiran adalah momen yang sakral bukan hanya sekadar euforia. Karenanya menurut dia, takbiran boleh saja dilakukan dengan meriah, asalkan tidak menghilangkan substansi spiritualnya.

“Suka ada yang bahkan merayakan dengan petasan dan kembang, hal ini justru menjauhkan dari makna asli takbir. Jangan sampai kemeriahan justru menghilangan substansi spiritualnya,” kata dia.

Ahmad menyebut, takbir adalah bentuk pengakuan atas kebesaran Allah SWT sekaligus bagaimana Islam berinteraksi dengan budaya lokal tanpa kehilangan esensinya. “Yang perlu kita jaga adalah keseimbangan antara tradisi dan spiritualitas. Takbiran harus menjadi ajang syiar Islam, bukan sekadar euforia sesaat,” kata dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement