REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kemuliaan puasa tecermin dalam hadis qudsi, yang artinya, "Puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan balasannya." Dipahami bahwa substansi puasa adalah titik hubung terkokoh antara Sang Khalik dan makhluk.
Setidaknya, tidak ada ibadah yang pahalanya langsung disandarkan kepada Allah selain puasa. Disebabkan ritual ibadah ini berupa peniadaan, dalam hal ini penegasian atau pemenjaraan diri dari tindakan-tindakan yang membatalkannya.
Di sinilah keistimewaan puasa. Sebagaimana ungkapan Ibn Arabi dalam Futuhatul Makkiyyah, karena puasa laksana cerminan sifat Shamadiyyah, yaitu tidak membutuhkan makan dan minum. Dengan meneladani sifat Allah, diharapkan manusia bisa menghadirkan Tuhan dalam laku ibadahnya (muhsin).
Selain itu, puasa juga dimaknai sebagai perisai (junnah). Selama sebulan penuh spiritualitas kita diternakkan, akibatnya imunitas jiwa diperkokoh dari jeratan hasrat-hasrat rendah. Hingga dapat diartikan bahwa tempaan spiritual selama dua pertiga awal Ramadhan yang telah kita jalani ibarat tangga spiritual guna memikrajkan rohani demi mengunduh Lailatul Qadar.
View this post on Instagram
Inilah salah satu tetesan hikmah mengapa malam seribu purnama oleh para ulama sering diidentikkan dengan 10 akhir Ramadhan. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Aisyah, Rasulullah SAW pernah bersabda, "Carilah Lailatul Qadar pada 10 hari terakhir Ramadhan."
Dalam riwayat Ubadah Ibn Shamit, Rasulullah SAW pernah hendak mengabarkan Lailatul Qadar kepada orang-orang, kemudian terdapat perselisihan antara dua orang, lalu Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya aku keluar hendak mengabarkan Lailatul Qadar kepada kalian, namun aku mendapati perselisihan antara fulan dan fulan sehingga Lailatul Qadar diangkat kembali, bisa jadi hal itu adalah lebih baik buat kalian, maka carilah Lailatul Qadar pada hari kesembilan, ketujuh, dan kelima (sebelum akhir)."