REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Publik dihebohkan dengan usulan dari beberapa pihak untuk menggunakan dana zakat pada program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Sebagian mendukung ide ini dengan argumentasi bahwa dana zakat dapat memperluas jangkauan program dan sesuai dengan prinsip Islam.
Sedangkan kritikan muncul terkait keakuratan penentuan dan verifikasi mustahik yang kurang ketat, sehingga beresiko salah sasaran, melanggar prinsip syariat, dan menimbulkan ketidakadilan dalam pendistribusian zakat.
Kritikan lain juga terkait kecukupan anggaran, potensi penyimpangan dan penyalahgunaan, belum terintegrasi dengan program Percepatan Penurunan Stunting (PPS) yang sudah ada, juga menghadapi risiko keterbatasan fiskal yang dapat mengorbankan program kesehatan lainnya.
Kejelasan mengenai lembaga pengelola, koordinasi antar lembaga, dan pelibatan masyarakat sipil, ditambah lagi isu campur tangan unsur politik dan kekuasaan negara menjadikan masalah ini semakin tidak mudah dan tidak terburu-buru untuk disimpulkan. Tentu saja, persoalan ini perlu disikapi dengan serius, bijaksana dan komprehensif.
Zakat konsumtif atau produktif?
Zakat sebagaimana disebutkan dalam QS At-Taubah: 60 wajib disalurkan kepada delapan kelompok asnaf, khususnya fakir dan miskin yang membutuhkan pemenuhan kebutuhan pokok.
Zakat dapat diberikan dalam bentuk uang atau barang, seperti makanan bergizi dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar serta mendukung taqwiyatul ajsad (penguatan fisik) sehingga mustahik menjadi lebih sehat, produktif, dan berpeluang keluar dari kemiskinan.
Zakat konsumtif memiliki potensi untuk diintegrasikan dengan program makanan bergizi gratis yang bertujuan menyediakan akses pangan bernutrisi bagi masyarakat prasejahtera, memenuhi kebutuhan pangan fakir miskin, sejalan dengan prinsip Islam dan berkontribusi pada peningkatan kualitas gizi masyarakat.
BACA JUGA: Perburuan Tentara Israel di Brasil dan Runtuhnya Kekebalan Negara Zionis
Beberapa bentuk distribusi zakat konsumtif yang telah dilakukan dan mirip dengan program MBG antara lain program Food Bank nya BAZNAS, Semua Bisa Makan Baznas DKI, Food Parcel LMI, Healty Food Laznas AQL, dan lain sebagainya.
Berbagai program distribusi zakat konsumtif ini tentu saja tidak lepas dari berbagai tantangan seperti ketidaktepatan klasifikasi asnaf, kurangnya data akurat, penyalahgunaan dana, serta proses distribusi yang tidak efisien, overlapping bantuan, terbatasnya pemanfaatan teknologi, kurangnya edukasi kepada masyarakat tentang kriteria penerima zakat, dan penyelewengan yang diakibatkan pengawasan yang lemah.
Jika kekhawatiran akan berbagai tantangan dan ketidaktepatan program MGB berbasis zakat konsumtif, maka apakah mungkin opsi zakat produktif dapat menjadi sebuah solusi jalan tengah untuk menyelesaikan masalah yang ada?