Sabtu 11 Jan 2025 05:59 WIB

Bagaimana Jika Dunia tanpa Islam?

Seorang penulis mengandaikan bahwa Nabi Muhammad SAW dan Islam tak pernah ada.

Sebuah buku karya Graham E Fuller yang mengandaikan narasi sejarah bila Islam tak pernah ada.
Foto: ist
Sebuah buku karya Graham E Fuller yang mengandaikan narasi sejarah bila Islam tak pernah ada.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam sebuah bukunya, sejarawan asal Kanada, Graham E Fuller, membuat pengandaian yang cukup menarik. Ia bertanya: “Bagaimana sebuah dunia yang tanpa Islam?”

Untuk membangun alternatif jawabannya, Fuller pertama-tama menyinggung generalisasi stigma yang kerap dilontarkan Dunia Barat (baca: Eropa-Kristen) kepada Timur atau Islam. Ia berusaha menunjukkan, ada banyak faktor pemicu pertentangan antara Barat dan Timur yang sesungguhya sudah eksis bahkan sebelum Islam datang.

Baca Juga

Pertama-tama, Fuller memaparkan sebuah fakta historis: Eropa mengalami perpecahan antara Kekristenan Barat (Katolik) dan Kekristenan Timur (Kristen Ortodoks).

Yang satu berpusat di Roma, sedangkan yang lain di Konstantinopel (kini bernama Istanbul di Turkiye). Sejak 29 Mei 1453, Turki Utsmaniyah sukses menaklukkan Konstantinopel. Maka sejak itu, pusat Kekristenan Timur berpindah ke Moskow (Rusia), yang belakangan disebut juga sebagai "Roma Baru" karenanya.

Antara Katolik dan Kristen Ortodoks tentu memunculkan perbedaan. Dalam hal pusat masing-masing, menunjukkan hal itu.

Konstantinopel adalah wilayah budaya Yunani, sedangkan Roma berbudaya Latin. Fuller mengatakan, bahasa Latin cenderung menimbulkan kesan "bahasa eksklusif", yakni "hanya" dipakai secara fasih oleh kalangan cendekiawan atau bangsawan. Adapun bahasa Yunani malahan mempersatukan kawasan Mediterania.

Pada abad keempat, Kekaisaran Romawi menjadikan Kristen sebagai agama negara. Alih-alih menerima "apa adanya", penguasa Romawi justru menancapkan pengaruh politiknya agar dogma-dogma agama tersebut dapat selaras dengan kemauan penguasa.

Ini terbukti dengan adanya penyelenggaraan Konsili Nicea pada 325. Sejak forum itu, muncul pula aliran-aliran Kristen yang berkaitan dengan, misalnya, ketuhanan Yesus atau Maria.

Menjelang abad kelima Masehi, Romawi pecah jadi dua: kekaisaran yang (masih) berpusat di Roma dan yang berpusat di Konstantinpel. Paus yang bertempat di Roma pun mengalami perubahan "pandangan."

Bagi elite di Konstantinopel, paus di Roma itu tak lebih daripada seorang “uskup agung Roma” sehingga tak berwenang mengeklaim universalitas Kristen. Pada 1054, antara Roma dan Konstantinopel saling mengucilkan.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement