REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (Waketum MUI) Buya Anwar Abbas mengungkapkan, kasus yang terjadi di Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 dan Rempang telah melukai dan mencederai bangsa. Menurut Buya Anwar, paradigma yang dipergunakan untuk memajukan kawasan tersebut bukan lagi pembangunan untuk rakyat tetapi rakyat dikorbankan untuk kepentingan pembangunan.
Untuk itu, Buya Anwar menegaskan, bagi kebaikan semuanya sebagai bangsa, strategi trickle down effect yang diterapkan dalam kontek Proyek Strategis Nasional (PSN) harus ditinjau kembali. "Sehingga pembangunan di daerah tersebut benar-benar bisa menciptakan sebesar-besar kemakmuran bagi segelintir orang yang kita sebut dengan oligarki, kasihan sekali kita dengan nasib rakyat di negeri ini karena Pancasila tidak bisa membela kepentingan mereka," ujar Buya Anwar kepada Republika, Kamis (9/1/2025).
Dia menilai kolusi penguasa dan pengusaha telah mengabaikan kepentingan rakyat. Menurut pejabat teras PP Muhammadiyah tersebut, dia bingung melihat data dan fakta yang ada di depan mata mengingat banyaknya paradoks yang dilihat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengusik rasa persatuan dan kesatuan. Hal tersebut dinilai sangat mengganggu bagi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
"Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena di negeri ini telah terjadi kolusi di antara sang penguasa dengan sang pengusaha untuk membuat kebijakan-kebijakan yang tampak sekali lebih berpihak kepada kepentingan pemilik kapital, sementara kepentingan rakyat dan orang banyak benar-benar terabaikan," kata Buya Anwar.
Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat meminta pemerintah untuk menghentikan pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) di PIK 2. Sekretarus Jenderal MUI Pusat, Amirsyah Tambunan mengatakan, proyek tersebut banyak mafsadatnya.
"MUI sejauh ini hasil dari Mukernas sudah diketahui oleh publik tentu kita minta dihentikan. Kenapa? Karena lebih banyak mafsadatnya," ujar Amirsyah usai rapat di Kantor MUI Pusat, Jakarta, Selasa (7/1/2025).
Menurut dia, dalam proses pembangunan proyek tersebut masih ada hal-hal yang belum selesai, baik sisi perizinan maupun kompensasi.