REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kepala Badan Penyelenggara Haji (BP Haji), Mochamad Irfan Yusuf menegaskan komitmennya untuk mengendalikan gratifikasi. Hal ini ditunjukkan dengan menggandeng Inspektorat Jenderal Kementerian Agama (Itjen Kemenag).
Pria yang biasa dipanggil Gus Irfan ini menjelaskan, langkah ini merupakan bentuk komitmennya sebagai pejabat negara untuk memberikan teladan dalam tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi.
“Sebagai pejabat negara, kami harus menjadi contoh. Pemberantasan korupsi dimulai dengan mengendalikan gratifikasi,” ujar Gus Irfan dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id di Jakarta, Jumat (27/12/2024).
Gus Irfan mengatakan, saat ini BP Haji masih dalam proses transisi dan belum ada aparat pengawasan internal, karenanya ia melibatkan Itjen Kemenag dalam proses ini.
“Dalam masa transisi ini, kami menyadari pentingnya pendampingan dari pihak yang kompeten untuk memastikan tata kelola yang baik. Oleh sebab itu, kehadiran Itjen Kemenag menjadi sangat penting untuk membantu kami,” ucap cucu pendiri NU ini.
Sementara itu, Wakil Ketua Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) Kemenag, Darwanto mengapresiasi langkah preventif yang dilakukan Gus Irfan. Menurut dia, ini merupakan langkah positif dalam mencegah potensi gratifikasi, terutama dalam penyelenggaraan acara keluarga yang melibatkan pejabat negara.
“Gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas yang mencakup uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, perjalanan wisata, hingga fasilitas lain," kata Darwanto.
Dalam rangka pernikahan misalnya, lanjut dia, upaya pengendalian terhadap penerimaan gratifikasi menjadi penting.
BACA JUGA: Terungkap Agenda Penghancuran Sistematis Gaza Hingga tak Dapat Dihuni dan Peran Inggris
"Berdasarkan ketentuan, maksimal nilai per pemberian sebesar satu juta rupiah, kecuali jika berasal dari hubungan keluarga dan sepanjang tidak memiliki konflik kepentingan,” jelas Darwanto.
Dia juga menegaskan bahwa setiap penerimaan gratifikasi wajib dilaporkan kepada UPG atau KPK paling lambat 30 hari kerja sejak tanggal penerimaan.
“Pelaporan ini bukan hanya untuk memenuhi kewajiban hukum, tetapi juga sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas pejabat negara dalam menjaga integritas,” kata dia.