REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mendapati 180.954 konten mengandung radikalisme, intoleransi, dan ekstremisme sepanjang 2024. Konten-konten itu terafiliasi dengan berbagai jaringan teroris di antaranya Islamic State Iraq and Syria (ISIS), Jamaah Asharut Daulah (JAD), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Jamaah Asharut Tauhid (JAT).
Kepala BNPT Komjen Eddy Hartono menjelaskan konten itu didominasi oleh propaganda dari jaringan teror. Mereka terkoneksi dengan kelompok-kelompok itu.
"Didominasi oleh propaganda jaringan teror yang terafiliasi dengan ISIS, HTI, JAT, dan JAD," kata Eddy dalam konferensi pers akhir tahun BNPT di Hotel Aryaduta, Jakarta pada Senin (23/12/2024).
Eddy menjelaskan pemantauan konten di media sosial (medsos) menjadi penting lantaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 menyatakan perencanaan perbuatan jahat bisa dipidana. Eddy mengatakan Detasemen Khusus 88 Anti-Teror (Densus 88) dapat melakukan pencegahan apabila muatan konten yang dimaksud telah mengarah pada persiapan terorisme.
"Densus (88) bisa melakukan upaya pencegahan karena di dalam menurut (UU) Nomor 5 Tahun 2018, perbuatan, persiapan sudah masuk dalam bisa dipidana," ucap Eddy.
Dari sisi platform, BNPT mendapati penggunaan media sosial Instagram mencatatkan angka tertinggi dengan 86.203 konten. Berikutnya menyusul Facebook dengan 45.449 konten, TikTok dengan 23.595 konten, X/Twitter dengan 9.535 konten, WhatsApp dengan 8.506 konten, Telegram dengan 4.751 konten, dan media online sebanyak 3 konten.
Eddy menyinggung penggunaan Telegram dinilai banyak dimanfaatkan oleh kelompok ekstremis dan teroris guna menyebarkan propaganda.
"Ini mengingat platform itu memungkinkan pembuatan grup dengan jumlah anggota yang tidak terbatas," ujar Eddy.
Oleh karena itu, BNPT bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) guna menanggulangi penyebaran konten radikalisme. BNPT meyakini kerjasama itu dapat berbuah manis dalam mencegah aksi teror.
"Kami sudah berkoordinasi dengan Komunikasi Digital termasuk oleh Telegramnya dalam konteks pendatang dihukum, kami bisa masuk ke Telegram," ujar Eddy.