REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Istilah malam jumat (maljum) jamak dipahami sebagai waktu afhdaliyah (utama) untuk menunaikan hajat biologis suami istri. Benarkah demikian?
Sebenarnya, jika merujuk sejumlah hadits dan penjelasan ulama, yang demikian ada dasarnya. Dalam tradisi Islam, pengertian malam Jumat, berarti sudah memasuki hari Jumat merujuk pada sistem penanggalan qamariyah.
Namun memang, yang perlu diperhatikan justru, kemudian, jangan sampai sunnah tersebut justru malah meruntuhkan kewajiban, semisal terlewat dari melaksanakan sholat subuh. Berikut ini sejumlah dalil tentang keutamaan berhubungan intim suami istri pada hari Jumat.
Pertama
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "من اغتسل يوم الجمعة غسل الجنابة ثم راح في الساعة الأولى فكأنما قرَّب بَدَنة، ومن راح في الساعة الثانية فكأنما قرَّب بقرة، ومن راح في الساعة الثالثة فكأنما قرَّب كبشًا أقرن، ومن راح في الساعة الرابعة فكأنما قرَّب دجاجة، ومن راح في الساعة الخامسة فكأنما قرَّب بيضة، فإذا خرج الإمام حضرت الملائكة يستمعون الذكر"
Dari Abu Hurairah RA, di berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang mandi seperti mandi junub pada hari Jumat, kemudian pada waktu pertama ia berangkat Jumat, maka seakan ia berkurban unta badanah. Dan barangsiapa berangkat Jumat pada waktu kedua, seakan berkurban sapi. Dan barangsiapa berangkat Jumat pada waktu ketiga, seakan berkurban kambing yang bertanduk. Dan barangsiapa berangkat Jumat pada waktu keempat, seakan berkurban ayam. Dan barangsiapa berangkat Jumat pada waktu kelima, seakan berkurban telur. Saat imam keluar berkhutbah, malaikat hadir seraya mendengarkan khutbahnya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hajar menjelaskan dalam Al-Fath al-Bari Fi Syarh Shahih al-Bukhari, salah satu pendapat menyatakan dalam hadits ini isyarat kepada berhubungan intim pada hari Jumat agar dia mandi dari junub.
Terdapat tiga hikmah di dalamnya yaitu, agar jiwanya tenang dalam melaksanakan shalat, dan agar padangan matanya terjaga pada hari itu. Selain itu juga, hadits ini mengisyaratkan agar istri mandi pula pada hari tersebut.
Ini masuk pada redaksi hadits من غسل اغتسل yang oleh sebagian ulama hadits menggunakan kalimat غسل dengan tasydid, yang berarti memandikan. Pendapat ini disampaikan Ibnu Quddamah dari Imam Ahmad, dan sebagian tabiin.
Imam al-Qurthubi berkata: “Ini adalah riwayat yang paling tepat, maka tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa riwayat ini tidak sahih.
Dalil kedua
عن أوس بن أوس الثقفي قال: "رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: "من غسل واغتسل يوم الجمعة، وبكَّر وابتكر، ومشى ولم يركب، فدنا من الإمام فاستمع ولم يلغ، كان له بكل خطوة عمل سنة أجر صيامها وقيامها
Dari Aus bin Aus al-Tsaqafi, dia berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang memandikan (badan istrinya) dan dia (sendiri) mandi pada hari Jumat, memulainya lebih awal, berjalan kaki dan tidak berkendaraan, mendekati imam, mendengarkan dan tidak tersesat, maka setiap langkahnya mendapatkan pahala seperti pahala puasa dan menghidupkan malamnya selama satu tahun.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya no 16172 dan 16961, Ibnu Abi Syaibah, 2/93.) Ibnu Majah (1087), Ibnu Abi Asim dalam “Al-Ahad dan Al-Muthani” (1573), At-Thabarani dalam “Al-Kabir” (585), Abu Dawud (345) - melalui beliau Al-Baihaqi dalam “Sunnah” 3/229, dan dalam “Khashaish al-Zaman” (270), Al-Baghawi dalam “Syarh Al-Sunnah” (1065) - Ibnu Habban (2781) dan Al-Hakim 1/282 dari jalur yang terkait dengan Abdullah bin Al-Mubarak, dengan sanad ini.
BACA JUGA: Jika Benar-benar Berdiri, Ini Negara 'Islam' Pertama yang Halalkan Alkohol dan Bela Israel
Abu Nu'aim dalam Ma'rifat as-Shahabah (974) dari jalur Muhammad bin Mush'ab dari al-Auza'i dengan lafaz ini dan disahihkan Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan dihukum hasan oleh al-Tirmidzi, al-Baghawi, al-Nawawi (al-Majmu' karya al-Nawawi 4-542), al-Iraqi (Nail al-Awthar 1-277), dan al-Zabidi (Ithaf al-Sadat al-Muttaqin 3-241), semuanya dari Muhammad bin Mus'ab, dengan sanad ini.
Al-Aqili mengomentari redaksi hadits ini, “Hadits ini diriwayatkan dari Nabi SAW dengan jalur lain lebih dari satu, diriwayatkan oleh Aus bin Aus al-Tsaqafi dan yang lainnya dengan sanad yang sahih.”(ad-Dhu'afa al-Kabir karya al-Aqili, 2-211).