Selasa 08 Oct 2024 05:51 WIB

Bolehkah Muslim Mengenakan Sepatu Berkulit Babi?

Babi dan anjing dianggap sebagai najis besar dalam pandangan mazhab Syafiiyah.

Rep: Mgrol153/ Red: A.Syalaby Ichsan
Sepatu kulit babi
Foto: republika/mardiah
Sepatu kulit babi

REPUBLIKA.CO.ID, Sepatu yang terbuat dari kulit babi menimbulkan perdebatan di kalangan ulama terkait hukum penggunaannya dalam Islam. Inti dari permasalahan ini terletak pada apakah proses penyamakan (dibaghah) dapat mensucikan kulit hewan sehingga boleh dimanfaatkan, termasuk kulit babi.

“Penyamakan adalah proses pembersihan kulit hewan yang melibatkan penghilangan kotoran, lemak, dan bau busuk agar kulit tersebut dapat dimanfaatkan, seperti dijadikan sepatu. Namun, pandangan ulama berbeda terkait efek penyamakan terhadap kesucian kulit hewan.” Kata Ahmad Zarkasih Lc dalam buku Sepatu Yang Terbuat Dari Kulit Babi

Baca Juga

Beberapa ulama, seperti dalam madzhab Syafi’i dan Hanafi, berpendapat bahwa penyamakan dapat mensucikan semua jenis kulit hewan, kecuali kulit babi.

Dalil yang mereka gunakan ialah beberapa hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya dari sahabat Ibnu Abbas:

إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ

“Jika kulit itu telah disamak, maka ia telah suci”                                

Dikecualikan Kulit Babi dan Kulit Anjing (Al-Syafi’iyyah)

Oleh karena itu, meskipun penyamakan dapat mensucikan kulit hewan lain, baik yang halal maupun haram dimakan, kulit babi tetap dianggap najis dalam pandangan madzhab tersebut, sehingga penggunaannya tidak diperbolehkan dalam Islam.

Salah satu dalil yang digunakan ialah ayat 145 surat Al-An’am:

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ......

“katakanlah (Wahai Muhammad) aku tidak menemukan apa-apa yang diharamkan dari apa yang diwahyukan kepadaku berupa makanan kecuali bangkai, darah yang mengalir, dan juga daging babi, karena ia adalah Rijs (Najis)….”

Dalam pandangan madzhab Syafi’i, babi dan anjing dianggap sebagai najis besar (najis mughalladzah) yang berasal dari dzatnya sendiri, baik ketika hidup maupun setelah mati. Karena kenajisannya bersifat esensial, proses penyamakan (dibaghah) tidak dapat mensucikan kulit babi dan anjing, berbeda dengan kulit hewan lain yang bisa menjadi suci setelah disamak. Ulama Syafi’i menyamakan status kenajisan anjing dengan babi, sehingga keduanya tidak dapat disucikan dengan cara apapun. Oleh karena itu, kulit anjing dan babi tetap najis dan tidak boleh digunakan, meskipun telah melalui proses pembersihan atau penyamakan.

Menurut madzhab Malikiyah yang masyhur dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, proses penyamakan (samak) tidak dapat mensucikan kulit hewan secara mutlak, apapun jenis hewannya.

Pendapat ini didasarkan pada Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 3 yang menyatakan bahwa bangkai adalah haram, sehingga kulit hewan yang mati juga dianggap sebagai bangkai dan tidak suci. Oleh karena itu, kulit tersebut tidak dapat dimanfaatkan.

Pendapat ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dari sahabat Salamah bin Al-Muhabbiq, di mana Rasulullah saw bersabda:

ذَكَاةُ الأَدِيمِ دِبَاغُهُ

“Penyembelihan kulit itu dengan menyamaknya”

Imam Ahmad bin Hanbal memiliki tiga pendapat terkait penyamakan kulit hewan. Salah satu pendapatnya adalah bahwa samak hanya mensucikan kulit hewan yang dagingnya halal dimakan, berdasarkan hadits yang menyamakan penyamakan dengan penyembelihan, yang hanya berlaku untuk hewan halal. Pendapat lain menyatakan bahwa samak mensucikan kulit hewan yang suci saat hidupnya, meskipun haram dimakan, seperti keledai, karena najis yang disucikan melalui samak adalah yang muncul setelah kematian hewan, bukan yang sudah ada saat hidup. Kulit babi tetap dianggap najis dan tidak bisa disucikan karena kenajisannya melekat sejak hidup.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement