Ada sebuah kisah yang cukup menarik. Seperti diceritakan oleh Ustaz Mahli Zainuddin Tago, pada suatu kesempatan Rihlah Dakwah menyambangi Sumatra. Pada hari ke-21 sejak keberangkatan, hampir semua daerah sudah dikunjungi. Maka, Ustaz Mahli dan Ustaz Prapto berpisah di Kota Metro, Lampung.
Dalam kondisi fisik yang sudah lelah, Ustadz Mahli kembali menuju Yogyakarta. Wajarlah kiranya apabila Ustaz Prapto nanti juga letih sekembalinya dari Sumatra. Ternyata, penggagas program Rihlah Dakwah itu dari Metro tidak langsung pulang. Ia selama beberapa hari tetap di Lampung.
Padahal, waktu itu sang ustaz sudah divonis mengidap sakit gula. Bahkan, level penyakitnya itu sudah sampai tahap kronis. Maka selama di Lampung, ia menenteng tas bawaan serta termos es yang berisi jarum suntik dan insulin—guna disuntikkan ke dirinya sendiri.
Ustaz Mahli baru mengetahui keadaan mubaligh tersebut setelah diberi tahu seorang menantu Ustaz Prapto, Agus Syamsul Bahri. Tentu saja, kekhawatiran tergambar pada raut wajahnya. Namun, Mas Agus kembali berkata, menyampaikan kesaksiannya tentang sang mertua, “Cita-cita Bapak memang ingin syahid dalam perjalanan dakwah itu.”