REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Guru Besar Bidang Bangunan Tahan Gempa Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Sarwidi mengatakan peristiwa gempa bumi berkekuatan 5.0 magnitudo di Bandung, Jawa Barat, Rabu (18/9), mengingatkan akan pentingnya penerapan standar bangunan tahan gempa.
"Seluruh bangunan, khususnya yang berada di wilayah rawan gempa seharusnya menerapkan standar bangunan tahan gempa," kata Prof. Sarwidi dalam keterangannya di Yogyakarta, Rabu.
Prof. Sarwidi mengutarakan bahwa gempa bumi Bandung yang terjadi di daratan dengan sumber yang dangkal berdasar data sementara telah mengakibatkan beberapa bangunan rusak ringan, rusak sedang, rusak berat, hingga roboh.
Bangunan rumah yang roboh total atau roboh dindingnya mengindikasikan bahwa bangunan tersebut tidak mengakomodasi konsep bangunan tahan gempa.
Padahal, kata dia, seharusnya gempa dengan skala intensitas guncangan IV—V MMI belum mengakibatkan kerusakan manakala bangunan sudah mengadopsi konsep bangunan tahan gempa.
Pada konsep bangunan tahan gempa, Sarwidi menjelaskan bahwa analisis ketahanan bangunan terhadap gempa lebih pada elemen struktur sebagai sistem penahan utama bangunan.
Pada bangunan teknis bersistem rangka, lanjut dia, elemen struktur meliputi rangkaian fondasi, kolom, balok, dan pelat lantai.
Sementara itu, pada bangunan rumah nonteknis dan semiteknis tembokan, menurut Prof. Sarwidi, elemen strukturnya adalah rangka pengekang dan dinding tembok.
Sarwidi menuturkan wilayah Jawa Barat mempunyai potensi kegempaan yang tinggi, baik disebabkan oleh sumber megathrust di lepas pantai maupun dari sumber sesar-sesar gempa di darat.
Oleh karena itu, kesadaran masyarakat umum sebagai pemilik rumah tentang potensi bencana gempa yang dapat terjadi sewaktu-waktu secara mendadak di wilayah-wilayah rawan gempa harus ditingkatkan dari waktu ke waktu.
"Selama ini bencana gempa di luar wilayah pesisir hingga pedalaman umumnya disebabkan oleh dominasi kegagalan bangunan rumah masyarakat," ujar Sarwidi yang juga pengarah BNPB ini.