REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Gaza adalah kota yang mempunyai nilai strategis sepanjang sejarah. Namanya telah berubah sepanjang sejarah seiring dengan perubahan bangsa-bangsa yang memperebutkannya.
Namun orang Arab masih menyebutnya Gazzah (Gaza) atau Gazzah Hasyim yang merujuk pada kakek Rasulullah SAW “Hasyim bin Abdul Manaf” yang meninggal di sana, dan di sanalah Imam Syafi'i, salah satu dari empat imam yang paling tekun dalam Islam, pendiri mazhab Islam yang terkenal, dilahirkan, yang mengatakan tentang hal itu:
وإني لمشـتـاق إلى أرض غـــزة
وإن خانني بعـد التفــرقِ كتمـاني
سقى الله أرضا لو ظفرت بتربها
كحَّلْتُ بها من شدة الشوق أجفاني
Sungguh aku merindukan bumi Gaza, meski jauhnya perpisahan yang tersejumbunyi mengkhianatiku
Allah menyiram bumi, jika aku mendapatkan debunya, niscaya kupergunakan untuk bercelak, sebab kuatnya kerinduan yang menyiksaku
Adapun orang Ibrani menyebutnya “Azza” dengan huruf 'ain atau hamzah, bukan ghain. Al-Arif dalam kitabnya berjudul Tarikh Ghazzah, menyatakan bahwa Bangsa Kanaan menyebutnya “Hazati”, sedangkan bangsa Mesir kuno menyebutnya “Gazato” atau “Gadatu”.
Arif menyebutkan bahwa leksikon Yunani menyatakan bahwa kota ini memiliki beberapa nama di era yang berbeda, termasuk: “Ioni”, ‘Minoa’ dan ‘Constantia’, dan Tentara Salib menyebutnya ‘Gadris’. Orang Turki menyebutnya: Gaza.
Arti Gaza
Eusebius dari Kaisarea, yang disebut sebagai “bapak sejarah gerejawi”, yang hidup pada abad keempat Masehi, mengatakan bahwa “Gaza” berarti kebanggaan, kekebalan, dan kekuatan. Pendapat yang sama diutarakan William Smith dalam Kamus Perjanjian Lama, sebagaimana diutarakan Al-Arif.
Pengusung pendapat ini mengaitkan alasannya dengan banyaknya peperangan yang terjadi di dalam dan di sekitar kota, di mana Gaza bertahan menghadapi keteguhan para tiran.
BACA JUGA: Media Barat Ini Bongkar Praktik Kawin Kontrak Alias Nikah Mutah di Puncak, Begini Faktanya
Ada juga yang mengatakan bahwa kata ini berarti perbendaharaan, atau kekayaan, dan mereka menghubungkannya dengan asal-usul Persia. Di antara pengusung pendapat ini adalah Sophronius, penulis Kamus Perjanjian Baru yang diterbitkan di Aleksandria pada 1910.
Sophronius mengatakan “Gaza” adalah kata Persia yang berarti harta kerajaan, sebuah makna yang tidak jauh berbeda dengan mereka yang mengatakan bahwa ‘Gaza’ adalah kata Yunani yang berarti kekayaan atau perbendaharaan.