Ahad 08 Sep 2024 19:04 WIB

Faktor Internal yang Paling Mempengaruhi Kekalahan Umat Islam Selama Perang Salib

Umat Islam terpukul dalam beberapa kali Perang Salib

Rep: Fuji E Permana / Red: Nashih Nashrullah
Pertempuran bala tentara Seljuk dengan tentara Salib. Umat Islam terpukul dalam beberapa kali Perang Salib
Foto: google.com
Pertempuran bala tentara Seljuk dengan tentara Salib. Umat Islam terpukul dalam beberapa kali Perang Salib

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kejayaan Perang Salib diyakini secara umum berada di tangan para musuh. Hal yang membuat Tentara Salib Pertama meraih kemenangan karena kaum Muslim tengah mengalami perpecahan dan kemunduran.

Kalau saja para Tentara Salib itu tiba sepuluh tahun lebih awal, mereka akan mendapat perlawanan keras dari pasukan Muslim. Sebab sepuluh tahun yang lalu masih kuat persatuan dari berbagai kelompok di negara yang diperintah oleh Maliksyah, sultan terakhir dari tiga Sultan Besar Turki Saljuk.

Baca Juga

Demikian dijelaskan, Guru Besar Studi Islam dan Bahasa Arab di Universitas Edinburgh, Carole Hillenbrand dalam bukunya berjudul Perang Salib, yang diterbitkan Serambi.

Wilayah kekuasaan Turki Saljuk di wilayah Barat meliputi Irak, Suriah, dan Palestina. Namun, pembahasan ilmiah sebelumnya tentang keadaan kaum Muslim pada umumnya di tahun 488 Hijriyah atau 1095 Masehi tidak terlalu jauh beranjak dari penekanan bahwa dunia Islam mengalami perpecahan dan kemunduran. Hal itu terjadi akibat kehilangan pemimpin yang benar-benar kuat dan karena terjadinya pertikaian agama.

Carole Hillenbrand dalam bukunya mengungkapkan peristiwa yang menghancurkan umat Islam sepanjang tahun 485 H sampai 487 H atau 1092 M sampai 1094 M.

Dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, yang dimulai sejak 485 H, terjadi rentetan pembersihan semua pemimpin politik terkemuka dunia Islam dari Mesir hingga ke timur.

Pada 485 H atau 1092 M, tokoh terbesar dalam sejarah Kesultanan Saljuk, menteri (wazir) Nizhim al-Mulk, penguasa de facto kekaisaran Saljuk selama lebih dari tiga puluh tahun, dibunuh.

Sebulan kemudian, Maliksyah, sultan ketiga Saljuk, wafat secara mencurigakan, setelah selama dua puluh tahun berkuasa dengan gemilang. Tidak lama kemudian, permaisurinya menyusul diikuti oleh cucunya dan pemimpin-pemimpin politik berpengaruh lainnya.

BACA JUGA: Dampak Fatal Eksodus Besar-besaran Keluar Israel dan Ragam Bujuk Rayu untuk Kembali

Sumber-sumber Islam bahkan memandang tahun 487 H atau 1094 M sebagai tahun penuh bencana, karena di tahun ini era lainnya turut berakhir. Yaitu dengan wafatnya Khalifah Fatimiyah di Mesir, al-Mustanshir, musuh besar Saljuk, yang telah memerintah selama 58 tahun. Tazirnya, Badr al-Jamili, pendiri benteng kota Kairo kemudian menyusul.

Pada 487 H atau 1094 M, Khalifah Abbasiyah al-Muqtadhi yang berpaham Sunni juga wafat. Seperti diuraikan oleh sejarawan Mamluk, Ibn Thghribirdi. "Tahun ini disebut tahun kematian para khalifah dan pemimpin," kata Ibn Thghribirdi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement