Rabu 28 Aug 2024 14:47 WIB

Peranan Para Raja Nusantara Dalam Transformasi Sosial, Politik, Agama

Peran raja di Nusantara dalam mendorong proses Islamisasi tidaklah diragukan.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
Peran raja di Nusantara dalam mendorong proses Islamisasi tidaklah diragukan. Foto:   Makam Fatimah binti Maimun (wafat 1028 M) di Leran, Gresik, Provinsi  Jawa Timur.
Foto:

Masyarakat Jawa percaya bahwa mereka hanya memerlukan beberapa hari saja di dalam istana untuk menyadari keharusan melakukan pemujaan berhala di mana para penguasa istana memerintah atas nama Tuhan, mereka juga percaya tanah dan rakyat adalah milik raja-raja mereka. 

Raja Alam di Minangkabau dipandang oleh rakyatnya sebagai pancaran Tuhan. Seperti halnya rakyat Pasai, Dampier menyatakan, rakyat Mindanau juga mendekati rajanya dengan hormat dan pemujaan, dengan membungkuk dan berlutut.

Ketika Islam masuk ke dalam struktur masyarakat seperti ini, dengan tradisi penghayatan dan dunia pandang yang sudah mengakar kuat, posisi tradisional raja dan rakyat seperti digambarkan di atas tidak berubah dan pada gilirannya memfasilitasi saluran yang efektif bagi proses Islamisasi. 

Sekali rajanya berpindah agama memeluk Islam, dengan mudah diikuti oleh seluruh rakyatnya. Gejala ini adalah umum terjadi di kerajaan-kerajaan Nusantara dan Nusantara sebagai model konversi agama kerajaan-kerajaan Hindu kepada Islam.

Kedua, terdapat hubungan para penguasa istana dengan jaringan perdagangan dunia. Sudah menjadi determinasi sejarah Nusantara bahwa Islamisasi terjadi pada saat era perdagangan (the age of commerce) yang mengalami puncak kesibukannya pada abad ke-15 sampai 17. Dapat dikatakan bahwa pada saat itu hampir tidak ada satu pun kerajaan yang berada di pelabuhan-pelabuhan kota (city-ports) yang tidak terhubungkan dengan perdagangan internasional. 

Sementara itu, situasi perdagangan sendiri tengah mengalami puncak kesibukannya pada periode booming perdagangan perak (silver boom) yang terjadi antara tahun 1570 sampai 1630. Agar perdagangan itu tetap aktif dan terjaga, maka tidak mungkin bagi istana-istana di Nusantara tidak mengikatkan diri mereka pada situasi perdagangan internasional saat itu.

Konsekuensinya, relasi antara istana dan perdagangan tumbuh berkembang luar biasa. Dalam konteks inilah, Hooker mengatakan, Islam secara khas adalah sebuah fenomena istana, di mana saudagar-saudagar besarnya umumnya adalah orang-orang Arab, Muslim India dan Cina. 

Sejak awal, Islam selain sebagai agama rakyat yang menyebar di lapisan bawah kemudian juga berkembang menjadi karakter istana. Sebagai agama dakwah (missionaris), Islam kemudian menyebar melalui kota-kota pelabuhan di Nusantara di mana transaksi-transaksi antara para saudagar Muslim dan kerajaan-kerajaan lokal terjadi. 

Menurut Jay, perpindahan agama kepada Islam menyebar ibarat gelombang dari Timur ke Barat, melalui negara-negara kepulauan. Setelah itu, selama lebih dari bentangan dua abad, kebanyakan pusat-pusat perdangan besar termasuk pelabuhan-pelabuhan di utara Jawa, berada dalam pengaruh penguasa-penguasa Muslim lokal.

Ketiga, dampak besar masuk Islamnya para penguasa dan pengaruhnya pada transformasi masyarakat. Dalam pandangan dan kepercayaan tradisional pra-Islam, penguasa atau raja-raja dipersepsi sebagai dewa-raja (god- kings), pancaran dewa (god-emanations) atau reinkarnasi dewa (god-reincarnations) di mana rakyat menghamba dan melayani mereka sepenuh hati dengan jiwa raga. Karena raja dipercaya oleh rakyatnya sebagai titisan dewa sehingga legitimasi kekuasaan raja sangat kuat. Taat kepada raja dihayati sebagai taat kepada dewa. Maka, berontak kepada raja adalah sesuatu yang tabu atau tidak mungkin. Kepercayaan ini terus berlanjut hingga masuknya pengaruh Islam. Karenanya, mudah diduga, sistem kepercayaan lama ini melempangkan jalan yang mudah bagi Islamisasi. Konversi agama para penguasa lokal memfasilitasi percepatan gelombang masuknya Islam secara kuantitatif. 

Sebagai contoh dalam ejarah Melayu, seperti dikutip oleh Milner, menginformasikan bahwa Sultan Muhammad Syah, Raja Malaka adalah orang pertama yang masuk Islam di Malaka, dan kemudian memerintahkan semua rakyatnya, baik golongan rendah atau golongan elit, untuk masuk Islam.

Di Buton, Halu Oleu atau Timbang-timbangan raja ke-6 Kerajaan Buton masuk Islam pada 1538 dan bergelar ‘ulul amri wa qa’imuddin (pemerintah dan penegak agama). Setelah ia masuk Islam kemudian diikuti serentak oleh rakyatnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement