Kamis 22 Aug 2024 07:06 WIB

Muhammadiyah: DPR Seharusnya tak Menyalahi Putusan MK

Muhammadiyah menilai, DPR dalam merespons putusan MK telah menyebabkan disharmoni.

Sekretaris Umum (Sekum) PP Muhammadiyah Abdul Muti
Foto: Republika/Havid Al Vizki
Sekretaris Umum (Sekum) PP Muhammadiyah Abdul Muti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Langkah DPR pada kemarin dalam merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 menuai respons beragam pihak. Muhammadiyah menilai, lembaga legislatif itu seharusnya menghormati lembaga yudikatif, termasuk MK.

"DPR tidak semestinya berseberangan, berbeda, dan menyalahi keputusan MK dalam masalah persyaratan calon kepala daerah dan ambang batas pencalonan kepala daerah dengan melakukan pembahasan RUU Pilkada 2024," kata Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Kamis (22/8/2024) pagi.

Baca Juga

Menurut dia, langkah DPR tersebut tidak hanya menimbulkan masalah disharmoni dalam sistem ketatanegaraan. Manuver di Senayan ini juga dinilainya akan menjadi benih permasalahan serius dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024.

"Selain itu, (DPR) akan menimbulkan reaksi publik yang dapat mengakibatkan suasana tidak kondusif dalam kehidupan kebangsaan," ucap guru besar UIN Syarif Hidayatullah itu.

DPR bersama dengan pemerintah semestinya bersikap sensitif terhadap suara masyarakat, yang termasuk di dalamnya kaum akademisi. Jika sampai para mahasiswa turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi penegakan hukum dan perundang-undangan.

Kepada siapapun warga yang hendak menyampaikan pendapatnya melalui demonstrasi, Muhammadiyah berpesan agar mereka tetap menjaga keadaban.

"Perlu sikap arif dan bijaksana agar arus massa tidak menimbulkan masalah kebangsaan dan kenegaraan yang semakin meluas," ujar Abdu Mu'ti.

Sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI menyepakati daftar inventarisasi masalah (DIM) revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada). Terkait batas usia minimum calon kepala daerah yang bisa maju di pilkada, pihak legislatif merujuk pada putusan Mahkamah Agung (MA), yakni dihitung sejak pelantikan.

Rumusan DIM nomor 72 yang disetujui Panja RUU Pilkada itu berbunyi: "d. berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih."

 

Adapun sebelumnya, pada Selasa (20/8/2024), Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa syarat usia calon kepala daerah harus terpenuhi pada saat penetapan pasangan calon peserta pilkada oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

 

Hal tersebut ditegaskan Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024. Perkara tersebut menguji konstitusionalitas Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement