REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil presiden pertama RI, Mohammad Hatta dalam "Pembentukan Indonesia Merdeka oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia" (1981) menuliskan kesaksian. Pada 17 Agustus 1945 sore, dirinya dihubungi Tuan Nisyijima, seorang pembantu Admiral Mayeda.
Nisyijima mengatakan, ada seorang opsir angkatan laut (Kaigun) yang hendak menyampaikan kepadanya tentang wakil-wakil Protestan dan Katolik di daerah yang dikuasai Kaigun. Mereka mengaku keberatan dengan "tujuh kata" dalam Pembukaan UUD. "Jika 'diskriminasi' itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia," tulis Bung Hatta.
Yang dimaksud dengan "tujuh kata" adalah kandungan sila pertama Pancasila, sebagaimana disepakati dalam Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945. Isinya adalah: "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."
Hatta hanya punya waktu semalam untuk merenung. Ia merasa, opsir Jepang --yang ia lupa namanya siapa-- itu sungguh-sungguh menyukai Indonesia Merdeka yang bersatu. Ini memengaruhi pendirian Hatta. Keesokan paginya, sebelum sidang PPKI dimulai, Hatta pun mengajak Ki Bagus Hadikusumo, A Wahid Hasyim, Mr Kasman Singodimedjo, serta Mr Teuku Hasan untuk membicarakan masalah itu.
Singkat cerita, Hatta berhasil dalam lobi itu. Amandemen pun diajukan Ki Bagus yakni "tujuh kata" diganti dengan Yang Maha Esa. Ini mengandung makna tauhid, inti ajaran Islam. Menurut Mohammad Roem dalam kata pengantar buku Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 (1981), pengertian tentang "Tuhan Yang Maha Esa" dapat diperoleh dari kitab suci agama masing-masing. Alhasil, Ketuhanan Yang Maha Esa memberi ikatan bersama antarwarga negara.
Lebih lanjut, tokoh Masyumi ini mengutip Alamsjah Ratoe Perwiranegara. Menteri Agama periode 1978-1983 itu dalam acara Dies Natalis Institut Ilmu al-Qur'an 25 April 1981 mengatakan, "Pancasila adalah hadiah terbesar yang diberikan umat Islam kepada Republik Indonesia." Saat mengucapkan itu, ia menunjuk dengan hormat kepada Kasman Singodimedjo, salah satu yang diajak Bung Hatta dalam lobi jelang sidang PPKI 18 Agustus 1945. Bagi Roem, kesaksian Menteri Alamsjah mengandung penghargaan besar bagi umat Islam.
Pada 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit yang menetapkan pembubaran Konstituante. Lembaga itu --diisi para wakil rakyat hasil Pemilu 1955-- sebelumnya bertugas membentuk konstitusi baru untuk menggantikan UUDS 1950.
Dengan dekrit itu pula, Bung Karno memaklumkan kembalinya UUD 1945. Dalam pertimbangannya, ditegaskan, Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.
Hingga kini, bangsa Indonesia tetap memegang teguh Pancasila. Sejarah membuktikan, pemonopolian tafsir Pancasila hanya berujung disharmoni. Begitu pula dengan upaya-upaya membenturkan antara Pancasila dan agama (Islam). Sebab, tak ada pertentangan antara keduanya.
Pesan Mohammad Natsir, sang Bapak NKRI, agaknya tepat untuk hari-hari ini, "Janganlah pula ia (Pancasila) dipergunakan untuk menentang terlaksananya kaidah-kaidah dan ajaran yang termaktub dalam Alquran itu, yaitu induk-Serba-Sila, yang bagi umat Muslimin Indonesia menjadi pedoman hidup dan pedoman matinya, yang ingin mereka sumbangkan isinya kepada pembinaan Bangsa dan Negara, dengan jalan-jalan parlementer dan demokratis."