Kamis 15 Aug 2024 07:26 WIB

PP Muhammadiyah Bersuara, Pelarangan Jilbab Paskibraka Langgar HAM

Yudian mengungkapkan, penyeragaman Paskibraka sesuai SE Deputi Diklat 1/2024

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: A.Syalaby Ichsan
Direktur Pusat Studi dan Pendidikan HAM UHAMKA - Manager Nasution
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Direktur Pusat Studi dan Pendidikan HAM UHAMKA - Manager Nasution

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Maneger Nasution mengatakan, dunia kemanusiaan sangat prihatin akan adanya larangan berjilbab bagi Paskibraka Muslimah. Memasuki 79 tahun kemerdekaan Indonesia, Maneger heran ada pejabat publik cacat nalar kemanusiaan universal dan kasus yang dinilai 'jadul'. 

"Untuk itu jika ada pelarangan anggota Paskibraka memakai jilbab, maka larangan itu harus dicabut, dan memastikan adik-adik Paskibraka tersebut tampil pada 17 Agustus besok tanpa ada pelarangan berhijab," kata Maneger kepada Republika, Kamis (15/8/2024).

Baca Juga

Maneger mengatakan, pelarangan itu merupakan tindakan diskriminatif yang bertentangan dengan Pancasila, kebebasan beragama, dan hak asasi manusia (HAM) universal. Ia menerangkan, pelarangan itu, menurut BPIP, dilakukan sesuai peraturan BPIP dan sudah ada perjanjian di atas materai 10 ribu saat mendaftar. Argumen ini tentu cacat nalar kemanusiaan universal. 

"Pertama, cacat nalar relasi kuasa. Adik-adik pendaftar Paskibraka saat disodori pernyataan semacam itu pastilah dalam situasi terpaksa, ini  terjadi relasi kuasa yang tidak berimbang," ujar Maneger. 

Kedua, ujar Manager, cacat nalar kemanusiaan universal. Hak beragama itu adalah hak dasar warga negara, Pasal 22 UU 39 Tahun 1999 tentang HAM. Hak tersebut tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun, Pasal 28E Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (1) UUDNRI 1945. Dengan demikian argumen BPIP bahwa pelarangan itu sesuai dengan peraturan BPIP, ini justru cacat nalar konstitusional. Pembatasan atas hak warga negara hanya bisa dilakukan dengan Undang-Undang (Pasal 28J Ayat (2) UUDNRI 1945). Dengan demikian Peraturan BPIP itu adalah pelanggaran HAM dan inkonstitusional.

"Jika benar BPIP sudah minta maaf atas tindakan diskriminatif tersebut, sebagai bangsa beradab perlu diapresiasi. Permintaan maaf itu sebuah kemuliaan. Tapi permintaan maaf itu tentu tidak menghilangkan dugaan pelanggaran HAM atas tindakan tersebut," ujarnya.

Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini menegaskan, Komnas HAM perlu menunaikan otoritasnya untuk memastikan akan dugaan terjadinya pelanggaran HAM oleh BPIP dalam kasus tersebut. mantan komisioner Komnas HAM tersebut mengungkapkan,  lembaga ini harus meminta pertanggungjawaban HAM sesuai peraturan yang berlaku.

Ia mengatakan, presiden perlu mengevaluasi Pimpinan BPIP sesuai dengan peraturan yang berlaku agar tidak terulang lagi pada masa mendatang. Selain itu, publik diimbau untuk tidak terprovokasi, tidak main hakim sendiri. "Mari hadirkan keyakinan bahwa pihak berwenang menuntaskan kasus ini,"ujar dia.

 

Klarifikasi Kepala BPIP..

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement