REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bahasa Melayu pernah menjadi bahasa ketiga dalam Dunia Islam. Argumentasi itu mungkin masih berlaku sampai hari ini. Pencapaian bahasa Melayu ini juga berkat budaya tulis para ulama dan salik Nusantara, di samping menggunakan bahasa Arab, untuk menyebarkan Islam.
Pendapat ini disampaikan Prof Amin Sweeney, sebagaimana dikutip Prof Abdul Hadi WM (wafat 19 Januari 2024) dalam Cakrawala Budaya Islam. Melalui sastra dan dakwah, bahasa Arab merembes ke dalam bahasa Melayu. Demikian pula seiring dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam yang berpusat di kota-kota pelabuhan. Beberapa contoh di antaranya adalah Samudra Pasai, Malaka, Aceh, Johor, Banten, dan Makassar.
Abdul Hadi memaparkan, sebagian besar teks-teks Nusantara klasik ditulis pada zaman Islam, yakni abad ke-15 sampai abad ke-19. Teks-teks ini tidak hanya menggunakan bahasa Melayu atau Arab, melainkan juga bahasa daerah setempat, seperti Jawa, Sunda, Aceh, Madura, Bugis, Sasak, Banjar, dan Minangkabau.
Menurut guru besar Universitas Paramadina tersebut, penduduk Nusantara yang tak berhasil dimasukkan ke dalam Islam bisa dikatakan tidak pernah mengenal tradisi menulis.
Sejak kejatuhan Baghdad pada abad ke-13, maka mulai bermunculan organisasi-organisasi dagang yang disebut ta’ifah. Ta’ifah ini dipimpin figur sufi sehingga kegiatannya tidak semata-mata urusan perniagaan, melainkan juga sosial keagamaan.
Di sisi lain, lanjut Abdul Hadi, sastra merupakan bidang penting bagi para salik dalam menyebarkan ajarannya. Khususnya di negeri-negeri Islam non-Arab, semisal Persia, pantai timur Afrika, atau Nusantara. Para sufi tampil sebagai pelopor kebangkitan bahasa-bahasa baru Dunia Islam.
Sebut saja bahasa Persia, Swahili, Urdu, atau Melayu. Semua itu naik tarafnya menjadi bahasa peradaban Islam di wilayah penutur aslinya dan bahkan mencapai lintas wilayah (internasional).
Salah satu sastrawan Muslim unggul pada masa itu adalah Hamzah Fansuri. Ia merupakan penulis sufi yang memperkenalkan syair dalam kesusastraan Melayu. Genre tersebut merupakan bentuk sajak yang terdiri atas empat baris dengan rima teratur, ‘a-a-a-a.’
Abdul Hadi menduga, syair merupakan perpaduan dari genre ruba’i yang berasal dari Persia dan pantun Melayu. Di samping bahasa Arab, Persia dan Melayu, Hamzah Fansuri juga menguasai bahasa Hindi, Jawa, dan Siam.
Hamzah Fansuri juga merupakan orang pertama yang menulis risalah keagamaan dan ilmu pengetahan dalam bahasa Melayu tinggi. Adapun ulama-ulama terdahulu pada umumnya menulis dengan bahasa Arab.
Melalui tangan Hamzah Fansuri-lah bahasa Melayu mulai difungsikan sebagai bahasa fungsional untuk sastra dan sains. Abdul Hadi WM bahkan mengusulkan agar Hamzah Fansuri didaulat sebagai Bapak Bahasa Indonesia dan Malaysia atas jasa-jasanya mengangkat bahasa Melayu.