Rabu 07 Aug 2024 04:20 WIB

KB Sterilisasi, Bolehkah?

Bolehkah sterilisasi baik pada suami maupun istri yang berakibat pemandulan permanen?

ILUSTRASI Sterilisasi.
Foto: dok needpix
ILUSTRASI Sterilisasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Secara umum, para ulama tak mempermasalahkan program Keluarga Berencana (KB) yang didengungkan negara, terutama sejak era Orde Baru. Jika hanya sebatas mengatur atau menunda kehamilan, hal ini pun pernah dipraktikkan di masa para sahabat Nabi Muhammad SAW dahulu.

Tujuan dari pengaturan kehamilan agar anak-anak yang dilahirkan dapat diasuh dengan baik dan menghindarkan risiko-risiko melahirkan yang disebabkan jarak kelahiran terlalu dekat. Intinya, program KB bertujuan mengutamakan kualitas anak dibanding kuantitas.

Baca Juga

Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT, "Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka," (QS an-Nisa [4]: 9). Ayat ini menekankan pentingnya kualitas keturunan dari keturunan. Jika program KB ditujukan untuk menjaga kualitas keturunan, tentu hal ini tak menjadi masalah.

Soal pembolehan KB juga didukung ulama Tanah Air dalam konferensi besar pengurus besar Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) pertama yang diselenggarakan di Jakarta. Para ulama menghukum makruh dalam kasus ini. Jika dengan azl (mengeluarkan air mani di luar rahim) atau dengan alat yang mencegah sampainya mani ke rahim, seperti kondom, hukumnya makruh. Begitu juga makruh hukumnya meminum obat untuk menjarangkan kehamilan.

Para ulama seperti Imam Syafi'i, Al Ghazali, dan ulama kontemporer tak mempermasalahkan model azl seperti yang pernah dilakukan sahabat pada zaman Nabi. Ilmuwan Islam, seperti Dr Muhammad Abdus Salam Madkur dan Dr Mahmud Shalthut (rektor Universitas Al-Azhar Mesir) pernah membahas tuntas hal ini dan tak mempermasalahkan KB.

Namun, ternyata tidak semua program KB tersebut disetujui para ulama. Hal yang menjadi perdebatan ulama adalah KB model sterilisasi. KB jenis ini, baik vasektomi atau vasligation (sterilisasi untuk laki-laki) maupun tubektomi (sterilisasi pada wanita), tak disetujui ulama. Dr Shaltut sendiri tidak sepakat jika ada program sterilisasi yang berlangsung secara permanen. Terkecuali jika memang ada alasan-alasan serius, seperti menyangkut penyakit keturunan atau penyakit menular yang membahayakan.

Lalu bagaimana jika sterilisasi tersebut bisa dipulihkan lagi (reversable)? Para ulama tetap menyangsikan ini, mengingat risiko besar hal ini dapat berhasil. Para ahli kedokteran mengakui soal reversable harapannya tipis sekali untuk bisa berhasil.

Para ulama berdalil dengan kaidah fikih, "da'ma yuribuka ila ma la yuribuk" (tinggalkan apa yang engkau ragui kepada apa yang tidak engkau ragu). Terlalu berisiko mengambil tindakan sterilisasi, sedangkan kemungkinan reversable-nya sangatlah tipis.

Jadi, sterilisasi baik untuk lelaki atau perempuan pada akhirnya sama saja dengan abortus yang bisa berakibat kemandulan sehingga yang bersangkutan tidak lagi mempunyai keturunan. Para ulama menetapkan hukum asalnya adalah haram. Namun, ada beberapa pengecualian yang bisa membolehkan sterilisasi.

Para ulama berdalil, sterilisasi berakibat pemandulan secara permanen. Ini tentu bertentangan dengan tujuan asal perkawinan, yaitu untuk mendapatkan keturunan yang sah. Selain itu, sterilisasi juga berarti mengubah ciptaan Tuhan dengan jalan memotong dan menghilangkan sebagian tubuh yang sehat dan berfungsi.

Hal lainnya, proses operasi juga memberikan kesempatan memperlihatkan aurat mughallazah (kemaluan) yang haram dilakukan kecuali untuk urusan darurat. Jika hanya untuk sebuah sterilisasi, tentu alasan ini tak dapat diperkenankan.

Namun, jika ada uzur-uzur syar'i, seperti dalam keadaan sangat terpaksa untuk menghindari penurunan penyakit dari orang tua terhadap anak keturunannya, hal ini diperbolehkan. Misalnya, kondisi terancamnya jiwa si ibu bila ia mengandung atau melahirkan bayi, si bayi dikhawatirkan terkena penyakit berat yang berujung kematian. Kebolehan dalam kasus ini berdalil dengan kaidah fikih, "Keadaan darurat itu membolehkan hal-hal yang dilarang."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement