Kamis 01 Aug 2024 09:50 WIB

Sunat Perempuan, Bolehkah? Ini Pandangan Muhammadiyah

Berikut pandangan Muhammadiyah tentang praktik sunat perempuan atau khitan perempuan.

Khitan perempuan (ilustrasi)
Foto: Bigthink.com/ca
Khitan perempuan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di banyak negara mayoritas Muslim, sunat atau khitan merupakan praktik yang marak dijumpai. Bahkan, dalam berbagai tradisi, berpotong kulup adalah tanda seseorang sudah mencapai kedewasaan.

Umumnya, tidak ada persoalan mengenai khitan bagi anak laki-laki. Namun, bolehkah anak perempuan juga disunat?

Baca Juga

Seperti dinukil dari buku Menafsir Ulang Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Islam Berkemajuan (2022), yang dilansir Republika dari laman PP 'Aisyiyah, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah memiliki pandangan ihwal ini. Khitan perempuan memang ditemukan di berbagai belahan dunia. Di Afrika, misalnya, sunat perempuan disebut khitan firauni (khitan ala Fir’aun).

Sunat tersebut sangat sadis sehingga bertentangan dengan ajaran Islam. Ada beberapa tipe tindakan praktik di Afrika itu: dipangkas clitoris-nya; dipotong sebagian bibir-dalam vaginanya; atau dijahit sebagian lubang tempat keluar darah haid-nya.

Bedah hadis pro-khitan perempuan

Dalam perspektif Islam, memang ada beberapa ulama yang menyatakan, khitan wajib bagi laki-laki, tetapi tidak wajib bagi perempuan. Di antara yang berpandangan demikian adalah Ibnu Qudamah. Itu berdasar hadis Nabi Muhammad SAW.

"Dari Ummu ‘Atiyah, tukang khitan perempuan dari Bani Anshar di Madinah, disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda,'“Sayatlah sedikit dan jangan berlebihan karena hal itu akan mencerahkan wajah dan menyenangkan suami” (HR Abu Dawud dan Baihaqi).

Tampak dari redaksi itu, khitan perempuan berbeda tujuannya dengan khitan laki-laki, yang ingin mencapai kesucian dan kebersihan. Namun, yang penting diketahui adalah, hadis itu menurut sebuah kajian berderajat dhaif (lemah).

Sebab, salah satu sanadnya adalah Muhammad bin Said, yang mati disalib karena zindiq. Orang ini diketahui telah membuat empat ribu hadis palsu.

Ada pula redaksi lain, yang berasal dari Anas bin Malik. "Sesungguhnya Nabi SAW berkata kepada Ummu ‘Atiyah, tukang khitan perempuan dari Madinah, 'Sayatlah sedikit dan jangan berlebihan karena hal itu akan mencerahkan wajah dan menyenangkan suami'" (HR Thabrani).

Namun, derajat hadis di atas juga dhaif. Kelemahannya bukan pada keilmuan perawi (dhabit al-rawi), melainkan kredibilitas perawi, yaitu Zaidah Ibu Abi Raqqad sebagai perawi yang mungkar.

Masih terkait sosok Ummu ‘Atiyah, ada pula redaksi yang sumbernya dari Dhaha’ Qais. Ia berkata, “Ada seorang perempuan di Madinah tukang sunat perempuan bernama Ummu ‘Atiyah. Nabi SAW berkata kepadanya, ‘Wahai Ummu ‘Atiyah! Sayatlah sedikit dan jangan berlebihan karena hal itu akan mencerahkan wajah dan menyenangkan suami’” (HR Baihaqi dan Thabrani).

Lagi-lagi, derajat hadis ini juga tidak sampai sahih karena salah satu sanad perawinya, A’la bin Hilal ar-Raqiy, adalah seorang yang mungkar dan suka membolak-balikkan sanad. Bahkan, ada juga perawi yang jalurnya tidak diketahui namanya alias terputus.

Berikutnya, sebuah redaksi yang juga populer, bersumber dari Utsamah. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Khitan itu sunah bagi laki-laki dan kemuliaan bagi perempuan" (HR Imam Ahmad, Baihaqi, Thabrani).

Namun, riwayat itu dikritisi Imam Hanafi dalam Hasiyah Ibnu Abidin. Begitu juga Imam Maliki dalam Asy-Syarhu ash-Shagir dan Imam Syafii dalam Al-Majmu. Ketiganya menyatakan, hukum khitan bagi laki-laki adalah wajib, bukan sekadar sunah. Sebab, amalan ini adalah perintah Allah untuk umat Islam mengikuti mengikuti jejak Nabi Ibrahim AS.

ثُمَّ اَوۡحَيۡنَاۤ اِلَيۡكَ اَنِ اتَّبِعۡ مِلَّةَ اِبۡرٰهِيۡمَ حَنِيۡفًا‌ ؕ وَمَا كَانَ مِنَ الۡمُشۡرِكِيۡنَ

"Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), 'Ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia bukanlah termasuk orang musyrik'" (QS an-Nahl:123).

Adapun kedudukan hadis di atas adalah mauquf, yaitu disandarkan pada sahabat dan mata rantai perawi bernama Hajja ibnu Arthah. Sosok ini diketahui menyembunyikan kecacatan hadis (mudallis) dan enggan menggunakan “simbol” akhbarana ('telah diceritakan padaku').

Bukan sebuah praktik yang dianjurkan ....

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement