Senin 29 Jul 2024 13:52 WIB

Benarkah Haram Menambahkan Sayyidina pada Kata Muhammad Saat Tasyahud dalam Shalat?

Suara ulama terpecah mengenai masalah ini. Ada pro dan kontra.

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: A.Syalaby Ichsan
Infografis Posisi Jari Saat Tasyahud Menurut Empat Mazhab
Foto: Republika.co.id
Infografis Posisi Jari Saat Tasyahud Menurut Empat Mazhab

REPUBLIKA.CO.ID,Para nabi dan rasul yang diutus oleh Allah SWT adalah manusia pilihan. Kedudukan mereka sangat terhormat dan mulia. Baik di sisi Sang Khalik ataupun di hadapan segenap manusia. Maka, seyogianya penghormatan diberikan kepada para manusia utama tersebut. Para malaikat memuliakan Nabi Yahya AS dengan berbagai gelar dan julukan terpandang. 

“Kemudian, Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya ketika ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): ‘Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu), dan seorang nabi, termasuk keturunan orang-orang saleh.’” (QS Ali Imran [3]: 39).

Baca Juga

Demikian pula dengan Nabi Muhammad SAW. Penghormatan kepada pamungkas para nabi dan rasul tersebut sangat ditekankan. Penegasan akan pentingnya penyebutan Muhammad dengan panggilan terhormat dan tidak lancang atau meremehkan Rasul ditegaskan dalam surah al-Hujurat ayat 1-3.

photo
Muslim Palestina melaksanakan sholat Idul Adha di kota Khan Younis, Gaza Selatan, Ahad (16/6/2024). Warga Palestina di Khan Younis tetap antusias melaksanakan sholat Idul Adha diantara reruntuhan bangunan yang hancur akibat serangan Israel. - (EPA-EFE/MOHAMMED SABER)

Bahkan, dalam surah an-Nur ayat 63, Allah melarang panggilan yang sama dan lazim seperti kebiasaan kebanyakan orang terhadap Muhammad. “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain).”

Salah satu bentuk pemulian itu ialah dengan tidak memanggil nama Muhammad tanpa disertai gelar atau julukan kemuliaan. Kata sayyid yang berarti pemimpin merupakan satu dari sekian contoh gelar kehormatan tersebut.

Para ulama sepakat, hendaknya menggunakan gelar sayyid ketika hendak menyebut nama Muhammad. Ini merujuk ke sejumlah hadis, antara lain, riwayat Muslim dari Abu Hurairah. Rasulullah sendiri secara langsung menyematkan gelar sayyid. “Aku adalah pemimpin (sayyid) dari anak Adam pada hari kiamat,”sabda Rasul.

Lalu, berangkat dari kesepakatan itu muncul pertanyaan apa hukum menambahkan kata sayyid itu dalam redaksi shalawat di tasyahud pertama dan kedua (shalawat Ibrahimiyyah), azan, iqamat, atau ibadah-ibadah lain, seperti doa dan shalawat lainnya? Topik ini pun menjadi bahan diskusi menarik di kalangan para ulama. Suara mereka terpecah. Ada pro dan kontra.

Lembaga Fatwa Mesir, Dar al-Ifta, berpendapat, penyematan redaksi sayyid dalam zikir atau ibadah lain, seperti azan, iqamat, atau tasyahud awal dan akhir, hukumnya boleh, bahkan sangat dianjurkan. Lembaga yang pernah dipimpin oleh mufti agung Syekh Ali Jumah itu menyatakan, etika dan adab menghormati Rasul lebih dikedepankan daripada alasan mengikuti (al-itba').

Lembaga yang resmi berpisah dari stuktural pemerintahan pada 2007 itu menyebutkan, Ali bin Abi Thalib pernah menolak permintaan Rasul untuk menghapus kata ‘Rasulullah’ dalam redaksi Perjanjian Hudaibiyah. Ini semata wujud penghormatan kepada Muhammad SAW.   

Opsi ini, menurut Dar al-Ifta, merupakan pandangan mayoritas ulama mazhab. Dari mazhab Syafi'i, sejumlah nama setuju dengan opsi ini, yaitu Jalaluddin al-Muhilli, as-Suyuthi, Ibnu Hajar al-Asqalani, dan Syamsuddin ar-Ramli. Dalam kitab ad-Dur al-Mukhtar, al-Hashkafi, seorang imam bermazhab Hanafi, menyatakan hukumnya sunat dan lebih baik menyebutkannya. Selain al-Hashkafi, dari mazhab Hanafi ada al-Halabi, ath-Thahawi, dan Ibnu Abidi.

 

Pendapat Imam Malik dan fatwa yang melarang..

 

 

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement