REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rasulullah Muhammad SAW merupakan sosok yang pengertian. Dalam arti, beliau shalallahu 'alaihi wasallam selalu mempertimbangkan dengan siapa dirinya berbicara. Dengan begitu, cara komunikasinya akan efektif dan sekaligus afektif.
Informasi tersampaikan dengan baik. Pada saat yang sama, perasaan dan harga diri lawan bicara tidak tersinggung.
Rasulullah SAW selalu peka terhadap kapasitas lawan bicaranya. Beliau berbicara dengan memerhatikan kadar kemampuan mereka. Sebab, kemajemukan adalah sunnatullah. Tiap orang memiliki tingkat pengetahuan dan konteks yang berbeda-beda. Dengan memerhatikan hal itu, penyampaian ilmu atau pesan-pesan dari beliau tidak akan menimbulkan kesalahpahaman.
Rasulullah SAW selalu mempertimbangkan perbedaan kadar tiap lawan bicaranya. Kepada orang yang dinilai cerdas, beliau cukup menggunakan isyarat atau metafora. Tidak langsung ke pokok persoalan, karena demikianlah percakapan antarorang-orang yang berilmu. Adapun dengan orang yang daya tangkapnya terbatas, maka beliau shalallahu 'alaihi wasallam menjelaskan dengan contoh-contoh yang lebih konkret.
Umpamanya, merujuk pada sebuah hadits riwayat dari Abu Hurairah. Dikatakan di sana sebagai berikut.
“Seorang laki-laki dari Bani Fazarah datang kepada Nabi SAW, kemudian berkata: ‘Istriku melahirkan seorang anak yang berkulit hitam dan aku tidak mengakui anak itu.’
Rasulullah SAW bertanya: ‘Engkau mempunyai unta?’
Ia pun menjawab: ‘Ya.’
Maka beliau bertanya lagi: ‘apa warna kulit untamu itu?’
Ia menjawab: ‘Merah.’
Beliau bertanya: ‘Apakah pada kulitnya terdapat warna kelabu hitam-hitam?’
Ia menjawab: ‘Ya.’ Beliau bertanya lagi:
‘Dari mana warna itu?’
‘Mungkin warna itu berasal dari keturunannya.’
Maka beliau berkata: ‘Inipun (anak lelaki Bani Fazarah itu --Red) mungkin saja berasal dari keturunannya.’"
Dalam kesempatan itu, Rasulullah SAW memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada orang dengan kapasitas yang demikian. Yakni, tentang genetik. Beda perspektif antara orang yang berilmu dan kurang berilmu tidak mesti merendahkan salah satu pihak.
Contohlah akhlak Nabi Muhammad SAW, seperti dinarasikan di atas. Beliau memberikan pemahaman kepada si penanya tanpa membuat lawan bicaranya itu bingung atau tersinggung.