REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Umat Islam telah memasuki Muharram 1446 H. Inilah salah satu bulan haram atau bulan yang istimewa menurut ajaran Islam.
Ada berbagai amalan sunah yang dapat dikerjakan selama bulan Muharram. Di antaranya adalah berpuasa pada hari Asyura yakni pada 10 Muharram.
Berdasarkan versi pemerintah RI dan perhitungan Persyarikatan Muhammadiyah, tanggal 10 Muharram 1446 H bertepatan dengan 16 Juli 2024. Adapun menurut Nahdlatul Ulama (NU), puasa Asyura 10 Muharram 1446 H dilaksanakan pada 17 Juli 2024.
Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW menyatakan keistimewaan puasa Asyura. Amalan ini, menurut Rasulullah SAW, dapat menghapuskan dosa-dosa pengamalnya pada tahun lalu. "Puasa Asyura melebur dosa setahun yang telah lewat" (HR Muslim).
Wajarlah bilaumat Islam berbondong-bondong melaksanakan puasa di bulan Muharram ini. Namun, bagaimana bila seseorang masih memiliki utang puasa Ramadhan lalu. Kasus ini biasanya menjadi mafhum bagi wanita yang mungkin harus meninggalkan puasa wajib karena mengalami haid, hamil, menyusui, atau melahirkan.
Ustaz Abdul Somad (UAS) dalam ceramahnya mengatakan, siapapun boleh melakukan puasa Asyura, termasuk bagi wanita yang masih punya utang puasa Ramadhan. Yang membedakan adalah niatnya.
“Niatnya qadha (puasa Ramadhan) saja jangan niat sunah karena kalau niat sunah, qadha tidak dapat. Namun, kalau niat qadha, maka otomatis pahala puasa sunahnya dapat,” ujar UAS dikutip Republika dari akun Youtube Pojok Solusi.
Niat seperti ini, menurut UAS, juga berlaku ketika kita ingin mengganti (qadha) puasa Ramadhan berbarengan dengan puasa sunah Senin-Kamis. Alhasil, qadha puasa lunas dan pahala puasa sunah Senin-Kamis pun didapatkan.
“Begitu juga dengan puasa sunah di bulan Muharram tanggal 9, 10, dan 11, niatnya qadha. Nawaitu sauma qadhain, saya berniat puasa qadha mengganti puasa Ramadhan yang kemarin, apakah karena haid atau karena menyusui anak, karena mengandung anak, atau karena nifas (melahirkan) maka cara yang efektif adalah sekali dayung tiga pulau terlampaui,” ujar UAS menjelaskan.
Alumnus al-Azhar Mesir ini menambahkan, pengetahuan tentang fikih wanita ini bukan saja hendaknya diketahui oleh kaum wanita. Para laki-laki pun harus mempelajarinya. Sebab, mereka mungkin memiliki istri, anak perempuan, adik perempuan, atau kakak perempuan.