Jumat 12 Jul 2024 14:32 WIB

Para Ahli Tauhid Pra-Islam

Sebelum zaman Rasulullah SAW, mereka teguh mengamalkan ajaran Nabi Ibrahim AS.

Para ahli tauhid pra-Islam. Foto - Kabah di Makkah, Arab Saudi.
Foto: AP Photo/Rafiq Maqbool
Para ahli tauhid pra-Islam. Foto - Kabah di Makkah, Arab Saudi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nabi Ibrahim AS merupakan leluhur bangsa semit, yang di dalamnya termasuk anak keturunan Nabi Ismail dan Nabi Ishaq. Yang pertama itu menurunkan bangsa Arab, sedangkan yang lain menghasilkan Bani Israil atau bangsa Yahudi.

Sejak puluhan tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW, bangsa Arab hidup dalam kondisi geopolitik yang "terjepit." Jazirah Arab diapit dua adidaya, yakni Romawi yang berkiblat pada Nasrani dan Persia yang Majusi.

Baca Juga

Dalam kondisi demikian, jejak-jejak ajaran tauhid Nabi Ibrahim kurang menonjol di Hijaz. Elite yang memegang kendali seutuhnya atas Kota Makkah justru condong pada paganisme.

Alhasil, Ka'bah atau Baitullah justru menjadi tempat banyak berhala. Syariat haji melenceng dari ketentuan yang digariskan sejak Nabi Ibrahim AS.

Sebagai contoh, pada masa jahiliyah itu, orang-orang musyrik melakukan tawaf dengan bersorak-sorai dan bahkan dalam keadaan telanjang.

Meskipun risalah Alquran belum tiba (bahkan Nabi Muhammad SAW belum lahir), banyak sosok yang setia pada ajaran tauhid Nabi Ibrahim AS.

Di antara mereka adalah Qus bin Saidah al-Iyadi, As'ad Abu Karib al-Himyari, Ubaid bin al- Abrash al-Asadi, dan Kaab bin Luay bin Ghalib al-Quraisy--salah seorang kakek Rasulullah SAW. Mereka dan para pengikutnya menjalankan syariat Nabi Ibrahim AS.

Misalnya adalah berhaji dengan semestinya ke Baitullah, mandi ketika junub, berkhitan, dan berkurban hanya untuk Allah SWT. Mereka tidak mau memakan daging kurban yang diperuntukkan berhala.

Mereka juga gemar bersunyi diri (iktikaf) biasanya di gua-gua untuk menemukan kedamaian; menganggap haram memakan darah, daging babi, dan bangkai; serta melarang menguburkan anak perempuan (atau siapa pun) hidup-hidup.

Banyak di antara para pengikut tauhid millah Ibrahim yang bisa membaca dan menulis. Bahkan, ada pula yang pakar kitabullah (ahlul kitab), walaupun tidak sampai memeluk Yahudi atau Nasrani, karena dinilainya kurang mampu melegakan dahaga batin mereka yang meyakini tauhid murni.

Kelak, Alquran sendiri menegaskan bahwa Nabi Ibrahim AS bukanlah dari golongan Yahudi maupun Nasrani. Lihat, misalnya, surah Ali Imran ayat ke-65 hingga 68.

Allah SWT melalui firman-Nya itu menyangkal klaim-klaim tak mendasar dari pemuka Yahudi dan Nasrani yang ingin agar sang Khalilullah itu diakui sebagai bagian dari kubu masing-masing.

Menurut tafsir Ibnu Katsir, dalam ayat tersebut seakan-akan Allah SWT menyindir dua kaum tersebut: "Bagaimana mungkin Ibrahim memeluk agama kalian, sedangkan syariat yang diberlakukan kepada kalian terpaut jangka waktu yang sangat panjang setelah Ibrahim?"

Maka dari itu, jelaslah bahwa Nabi Ibrahim AS berada di jalan yang lurus, yakni tauhid dengan semurnimurninya keyakinan bahwa hanya Allah yang pantas disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement