Rabu 10 Jul 2024 07:09 WIB

Mengapa Banyak Tokoh Menjadi Mualaf? ini Jawabannya

Ada beberapa mualaf yang tiba-tiba menjadi seolah sangat paham agama.

Rep: Muhyiddin/ Red: Erdy Nasrul
Mualaf. Ilustrasi
Foto: Republika/Mardiah
Mualaf. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyak tokoh selebritis dunia yang telah memilih Islam sebagai jalan hidupnya. Di antaranya, musisi Cat Stevens asal Inggris, musisi Amerika Jermaine Jackson, raper ternama Snoop Dogg, komedian Dave Chappelle, presenter TV Kristiane Backer, dan petinju legendaris Muhammad Ali. 

Mereka menjadi mualaf karena berbagai alasan yang sifatnya sangat pribadi dan beragam. Lalu bagaimana pakar sosiologi agama memandang fenomena ini? Faktor apa saja yang membuat mereka menjadi mualaf?  

Baca Juga

Ketua Asosiasi Sosialog Agama Indonesia, Sehat Ihsan Shadiqin menjelaskan, masalah mualaf tidak dapat dijelaskan dengan perspektif tunggal. Menurut dia, banyak sudut analisi yang dapat digunakan dalam melihat ini, sebab setiap orang yang menjadi mualaf memiliki alasan yang paling personal yang hanya dia dan Tuhan yang tahu.

"Namun kita bisa memetakannya dalam dua faktor utama, yakni eksternal dan insternal," ujar Sehat pada Selasa (9/7/2024).

Dari sisi ekasternal, menurut dia, konversi menjadi mualaf boleh jadi dipengaruhi oleh kehidupan sosial, budaya, globalisasi, dan bahkan institusi sosial, seperti ritual yang dilakukan oleh sebuah komunitas di mana ia hidup.

"Jadi di sini, konversi sangat dipengaruhi gerakan massa, atau pengaruh sosial dari satu komunitas dimana ia berada," ucap Sehat.

Sementata dari sisi internal, kata dia, konversi boleh jadi terkait dengan pencarian identitas, krisis kepribadian, kebutuhan emosional, dan bahkan pertanyaan eksistensial. Menurut dia, banyak orang yang menjadi mualaf merupakan orang yang sedang mencari identitas baru bagi kehidupannya di mana ia yakin agama, dalam hal ini Islam, dapat menjadi jawaban atas pencarian itu. 

Atau, lanjut dia, beberapa studi menjelaskan kalau konversi terkait dengan kebebasan berekspresi, di mana Islam dinilai memberikan ruang yang lebih egaliter bagi semua penganutnya tanpa strata, sehinga menjadi muslim adalah menjadi seorang yang bebas dan merdeka. 

Namun, menurut Sehat, faktor lain juga tidak bisa diabaikan, di mana menjadi mualaf terkadang terkait dengan keinginan integrasi sosial dan manfaat ekonomi.

"Banyak orang menjadi mualaf untuk "cari aman" di lingkungan baru di mana ia hidup. Ia tidak benar-banar ingin hidup sebagai muslim, namun dengan menjadi muslim ia dapat hidup dengan damai. Atau, orang yang dengan menjadi mulsim dapat memberinya kesempatan untuk bekerja, mengembangkan bisnis, meningkatkan pasar dan pendapatan ekonominya," kata dia. 

"Di sini, menjadi mualaf benar-benar bertujuan memperkuat kapital saja," jelas Sehat. 

Dosen Prodi Sosiologi Agama, UIN Ar-Raniry Banda Aceh ini menuturkan, di tengah berkembangnya kesalihan populer saat ini, menjadi mualaf terkadang juga kesempatan untuk menjadi populer dan "naik daun" di media sosial yang tujuan akirnya adalah ekonomi. 

Sehat misalnya melihat adanya beberapa mualaf yang tiba-tiba menjadi seolah sangat paham agama dan bahkan berani menyalah-nyalahkan ulama. Bahkan, kata dia, mualaf itu juga terus mengakampanyekan keburukan agamanya terdahulu demi mendapatkan simpati dari umat Islam. 

"Alih-alih menjadikan Islam sebagai rahamtan lil alamin, ia malah menjadi seseorang yang menunjukkan siisi tidak tolerannya Islam terhadap agama lain," ujar Sehat. 

Dia menambahkan, faktor-faktor seperti itu semakin marak terjadi di tengah budaya kesalihan populer saat ini, sehingga dengan menjadi mualaf seseorang dapat menjadi "tokoh" dengan pengikut yang banyak. 

"Sebagaimana kita tahu, banyak pengikut, banyak follower, banyak subscriber di media sosial, berarti banyak rejeki," kata Sehat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement