REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sebagian Muslim di Indonesia mentradisikan untuk menyantuni anak yatim pada 10 Muharram (hari Asyura). Bahkan, ada yang menyebut, tanggal 10 Muharram sebagai Lebaran Yatim.
Istilah yatim berasal dari saduran bahasa Arab, yang artinya adalah seorang anak dalam usia belum baligh telah ditinggal wafat oleh ayahnya. Sedangkan piatu adalah seorang anak yang belum baligh telah ditinggal oleh ibunya. Anak yatim piatu adalah gabungan dari keduanya, yakni seorang anak dalam usia yang belum balig telah ditinggal kedua orang tuanya.
Anak yatim dan piatu sudah selayaknya untuk mendapatkan perlakuan yang istimewa. Mereka dididik dan dinafkahi secara tidak lengkap. Islam pun mengatur kedudukan mereka. Terdapat juga anjuran tentang anak yatim yang tertulis di Alquran. Bahkan Rasulullah pun pernah bersabda Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di Surga seperti ini.” Diiringi sebuah isyarat acungan jari telunjuk dan jari tengah yang berhimpitan. (HR. Bukhari)
Sejatinya adakah dalil sahih terkait tradisi menyantuni anak yatim pada 10 Muharram? Bagaimana pula hukumnya?
Anggota Divisi Fatwa dan Pengembangan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Wawan Gunawan Abdul Wahid mengungkapkan, dia tidak pernah menemukan hadits terkait menyantuni anak yatim pada 10 Muharram.
"(Apabila) merujuk hadis Nabi itu, ada peristiwa perayaan orang-orang Yahudi di Madinah itu tanda kemenangan Yahudi, Nabi Musa diselamatkan dari pengejaran Fir’aun. (Sementara) Nabi bersabda, ‘Kita merayakan yang berbeda dengan mereka pada 9-10 (Muharram) berpuasa'," kata Wawan kepada Republika, beberapa waktu lalu.
Abu Musa RA berkata, "Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya. Maka, Rasulullah SAW bersabda, ‘Puasalah kalian pada hari itu’.” (HR Bukhari).
Berdasarkan hadis Ibnu Abbas RA yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan lafaz sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam al-Huda dan al-Majd Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa 2/2, "Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya.”
Wawan menekankan, santunan pada bulan apa pun bagus saja, lantas mengapa dikhususkan pada 10 Muharram? “Mengapa tidak dikhususkan menjelang Idul Fitri supaya orang-orang miskin bisa berlebaran juga? Mengapa tidak pada 10 Dzulhijah supaya orang-orang miskin bisa merayakannya juga? Semua itu dirujukkan kepada dalil. Saya belum menemukannya, wallahu a'lam," ujar Wawan.