REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Alquran merupakan petunjuk bagi umat manusia hingga akhir zaman. Kitab suci ini mengecam pelbagai tabiat buruk, antara lain, kecurangan. Salah satu surah di dalamnya bernama al-Muthaffifin. Secara kebahasaan, surah Makkiyah itu berarti "Orang-orang yang curang."
Surah yang terdiri atas 36 ayat ini dibuka ayat pertama. Isinya peringatan keras dari Allah SWT. Artinya, "Celakalah bagi orang-orang yang curang."
Mengutip buku Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat Al-Qur'an, tafsir tentang ayat itu dijelaskan Imam an-Nasai dan Ibnu Majah dengan sanad yang sahih. Mereka meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang berkata sebagai berikut.
"Ketika Nabi shalallahu 'alaihi wasallam baru saja tiba di Madinah (dalam rangka hijrah dari Makkah), orang-orang di sana masih sangat terbiasa mengurang-ngurangi timbangan (dalam jual-beli). Allah lantas menurunkan ayat 'Celakalah bagi orang-orang yang curang.' Maka setelah turunnya ayat ini, mereka khususnya orang-orang Muslimin di Madinah selalu menepati takaran dan timbangan.
Demikianlah. Masyarakat Madinah dahulu sebelum adanya syiar Islam terbiasa dengan praktik-praktik kecurangan. Dengan kedatangan Rasulullah SAW yang membawa risalah Alquran, maka tak ada lagi yang berani mempermainkan takaran. Para pedagang di Madinah berubah menjadi pebisnis yang paling jujur seantero Arab.
Kecurangan yang disinggung dalam firman Allah SWT itu tak sekadar dalam praktik jual-beli, melainkan lebih luas lagi. Muthafifin juga dapat merujuk pada mereka yang gemar mengurangi hak orang lain. Mereka itulah yang diancam dengan suatu kecelakaan besar. Allah mengancam akan memasukkan mereka ke dalam neraka wail, lembah di neraka jahanam yang sangat dahsyat siksanya.
Kecurangan yang diancam dengan siksa neraka itu, sekali lagi, tak sebatas perkara niaga. Itu juga berkenaan dengan kehidupan orang di tengah keluarga, masyarakat, dan negara. Siapakah yang patut disebut sebagai pelaku kecurangan? Yakni seseorang atau sekelompok orang yang meminta keistimewaan, penghargaan, atau pelayanan bagi diri sendiri atau golongannya saja.
Terhadap orang lain atau golongan luarnya, mereka bersikap masa bodoh. Mereka bersikap partisan, bahkan ketika kewajibannya untuk bersikap seadil-adilnya dan setransparan mungkin.
Mereka ini seakan-akan mengingkari atau lalai dari ketentuan Allah, bahwa kelak seluruh manusia akan dibangkitkan dan dikumpulkan untuk mempertanggungjawabkan tiap perbuatan. Tidak ada yang bisa menghindar dari pengadilan-Nya.
Dalam konteks ini, surah al-Muthaffifiin, khususnya ayat 10-18, menjadi relevan. Terjemahannya sebagai berikut.
"Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan. (Yaitu) orang-orang yang mendustakan hari pembalasan. Dan tidak ada yang mendustakan hari pembalasan itu melainkan setiap orang yang melampaui batas lagi berdosa. Yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata, 'Itu adalah dongengan orang-orang yang dahulu.
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka. Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari (rahmat) Tuhan mereka. Kemudian, sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka. Kemudian, dikatakan (kepada mereka): 'Inilah azab yang dahulu selalu kamu dustakan."