Kamis 04 Jul 2024 00:20 WIB

PBB: Serangan Israel di Gaza Picu Badai Penderitaan Manusia

sistem kesehatan publik di Gaza palestina telah runtuh akibat serangan Israel.

Ilustrasi Israel mengebom area Gaza Palestina.
Foto: EPA-EFE/ATEF SAFADI
Ilustrasi Israel mengebom area Gaza Palestina.

REPUBLIKA.CO.ID, HAMILTON -- Koordinator Senior Kemanusiaan dan Rekonstruksi PBB untuk Gaza Sigrid Kaag menyatakan bahwa serangan Israel di daerah kantong Palestina itu telah memicu badai penderitaan manusia.

"Warga sipil Palestina di Gaza telah terjerumus ke dalam jurang penderitaan. Rumah mereka hancur, kehidupan mereka berubah," kata Sigrid Kaag kepada Dewan Keamanan PBB, Selasa (2/7).

Baca Juga

Kaag melaporkan bahwa sistem kesehatan publik di Gaza telah runtuh, dengan hancurnya sekolah-sekolah dan sistem pendidikan, hingga menimbulkan ancaman serius bagi generasi mendatang.

Ia memperingatkan tentang suhu udara yang melonjak ketika musim panas dan krisis layanan dasar seperti pengelolaan limbah, fasilitas sanitasi dan pasokan air, serta momok wabah penyakit menular.

"Sebanyak 1,9 juta orang kini mengungsi di seluruh Gaza," kata Kaag.

Dia pun mengungkapkan kekhawatiran mendalam terkait perintah evakuasi terbaru di Khan Younis, dengan menyebut bahwa di Gaza, tidak ada tempat yang aman.

Kaag juga menggarisbawahi penurunan signifikan jumlah bantuan yang masuk dan didistribusikan di seluruh Gaza setelah serangan Israel terhadap Rafah dan penutupan perbatasan Rafah.

Memperhatikan bahwa bantuan kemanusiaan akan dibutuhkan selama bertahun-tahun, Kaag mengatakan bahwa fokus juga harus diarahkan pada proses rekonstruksi dan pemulihan di Gaza, tanpa penundaan.

Sebelumnya, masyarakat dunia menggencarkan gerakan boikot produk terafiliasi Israel.  Meskipun boikot sering kali dianggap sebagai upaya langsung untuk memberikan tekanan ekonomi, namun pengaruh utamanya mungkin terletak pada kemampuannya untuk meningkatkan kesadaran politik dan memicu aksi kolektif.

Dosen Perbankan Syariah, Universitas Ahmad Dahlan, Hilma Fanniar Rohman, mengatakan baru-baru ini pemegang waralaba Starbucks di Timur Tengah, Alshaya Group, mengumumkan pemutusan hubungan kerja terhadap sekitar 2.000 karyawan, atau sekitar empat persen dari tenaga kerjanya. Keputusan ini, diambil akibat ''kondisi perdagangan yang semakin sulit'' terjadi setelah boikot regional dan internasional terhadap perusahaan yang dianggap mendukung Israel atau tentaranya.

Dengan serangan Israel di Gaza, Tepi Barat maupun Rafah, seruan untuk boikot juga semakin kuat di Barat. Hilma mengatakan teknologi memainkan peran kunci, dengan tagar di platform media sosial seperti X dan TikTok yang mengajak untuk memboikot perusahaan-perusahaan yang terkait dengan Israel.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement